1. Pengantar
Banyak kesalahpahaman terhadap Islam di tengah masyarakat. Misalnya saja
jilbab. Tak sedikit orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan jilbab
adalah kerudung. Padahal tidak demikian. Jilbab bukan kerudung. Kerudung
dalam Al Qur`an surah An Nuur : 31 disebut dengan istilah khimar
(jamaknya : khumur), bukan jilbab. Adapun jilbab yang terdapat dalam
surah Al Ahzab : 59, sebenarnya adalah baju longgar yang menutupi
seluruh tubuh perempuan dari atas sampai bawah.
Kesalahpahaman
lain yang sering dijumpai adalah anggapan bahwa busana muslimah itu
yang penting sudah menutup aurat, sedang mode baju apakah terusan atau
potongan, atau memakai celana panjang, dianggap bukan masalah. Dianggap,
model potongan atau bercelana panjang jeans oke-oke saja, yang penting
‘kan sudah menutup aurat. Kalau sudah menutup aurat, dianggap sudah
berbusana muslimah secara sempurna. Padahal tidak begitu. Islam telah
menetapkan syarat-syarat bagi busana muslimah dalam kehidupan umum,
seperti yang ditunjukkan oleh nash-nash Al Qur`an dan As Sunnah. Menutup
aurat itu hanya salah satu syarat, bukan satu-satunya syarat busana
dalam kehidupan umum. Syarat lainnya misalnya busana muslimah tidak
boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau mencetak lekuk
tubuh perempuan. Dengan demikian, walaupun menutup aurat tapi kalau
mencetak tubuh alias ketat –atau menggunakan bahan tekstil yang
transparan-- tetap belum dianggap busana muslimah yang sempurna.
Karena
itu, kesalahpahaman semacam itu perlu diluruskan, agar kita dapat
kembali kepada ajaran Islam secara murni serta bebas dari pengaruh
lingkungan, pergaulan, atau adat-istiadat rusak di tengah masyarakat
sekuler sekarang. Memang, jika kita konsisten dengan Islam, terkadang
terasa amat berat. Misalnya saja memakai jilbab (dalam arti yang
sesungguhnya). Di tengah maraknya berbagai mode busana wanita yang
diiklankan trendi dan up to date, jilbab secara kontras jelas akan
kelihatan ortodoks, kaku, dan kurang trendi (dan tentu, tidak seksi).
Padahal, busana jilbab itulah pakaian yang benar bagi muslimah.
Di
sinilah kaum muslimah diuji. Diuji imannya, diuji taqwanya. Di sini dia
harus memilih, apakah dia akan tetap teguh mentaati ketentuan Allah dan
Rasul-Nya, seraya menanggung perasaan berat hati namun berada dalam
keridhaan Allah, atau rela terseret oleh bujukan hawa nafsu atau rayuan
syaitan terlaknat untuk mengenakan mode-mode liar yang dipropagandakan
kaum kafir dengan tujuan agar kaum muslimah terjerumus ke dalam limbah
dosa dan kesesatan.
Berkaitan
dengan itu, Nabi SAW pernah bersabda bahwa akan tiba suatu masa di mana
Islam akan menjadi sesuatu yang asing –termasuk busana jilbab--
sebagaimana awal kedatangan Islam. Dalam keadaan seperti itu, kita tidak
boleh larut. Harus tetap bersabar, dan memegang Islam dengan teguh,
walaupun berat seperti memegang bara api. Dan in sya-allah, dalam
kondisi yang rusak dan bejat seperti ini, mereka yang tetap taat akan
mendapat pahala yang berlipat ganda. Bahkan dengan pahala lima puluh
kali lipat daripada pahala para shahabat. Sabda Nabi SAW :
“Islam
bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang
asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” (HR. Muslim no.
145)
“Sesungguhnya
di belakang kalian ada hari-hari yang memerlukan kesabaran. Kesabaran
pada masa-masa itu bagaikan memegang bara api. Bagi orang yang
mengerjakan suatu amalan pada saat itu akan mendapatkan pahala lima
puluh orang yang mengerjakan semisal amalan itu. Ada yang berkata,’Hai
Rasululah, apakah itu pahala lima puluh di antara mereka ?” Rasululah
SAW menjawab,”Bahkan lima puluh orang di antara kalian (para shahabat).”
(HR. Abu Dawud, dengan sanad hasan)
2. Aurat dan Busana Muslimah
Ada 3 (tiga) masalah yang sering dicampuradukkan yang sebenarnya merupakan masalah-masalah yang berbeda-beda.
Pertama, masalah batasan aurat bagi wanita.
dua,
busana muslimah dalam kehidupan khusus (al hayah al khashshash), yaitu
tempat-tempat di mana wanita hidup bersama mahram atau sesama wanita,
seperti rumah-rumah pribadi, atau tempat kost.
Ketiga,
busana muslimah dalam kehidupan umum (al hayah ‘ammah), yaitu
tempat-tempat di mana wanita berinteraksi dengan anggota masyarakat lain
secara umum, seperti di jalan-jalan, sekolah, pasar, kampus, dan
sebagainya. Busana wanita muslimah dalam kehidupan umum ini terdiri dari
jilbab dan khimar.
a. Batasan Aurat Wanita
Aurat
wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak
tangannya. Lehernya adalah aurat, rambutnya juga aurat bagi orang yang
bukan mahram, meskipun cuma selembar. Seluruh tubuh kecuali wajah dan
dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan
firman Allah SWT :
'Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.' (QS An Nuur : 31)
Yang
dimaksud “wa laa yubdiina ziinatahunna” (janganlah mereka menampakkan
perhiasannya), adalah “wa laa yubdiina mahalla ziinatahinna” (janganlah
mereka menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang di situ dikenakan
perhiasan). (Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul Qur`an, Juz III hal.
316).
Selanjutnya,
“illa maa zhahara minha” (kecuali yang (biasa) nampak dari padanya).
Jadi ada anggota tubuh yang boleh ditampakkan. Anggota tubuh tersebut,
adalah wajah dan dua telapak tangan. Demikianlah pendapat sebagian
shahabat, seperti ‘Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar (Al-Albani, 2001 :
66). Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) berkata dalam kitab tafsirnya
Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur`an Juz XVIII hal. 84, mengenai apa yang
dimaksud dengan “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (illaa maa
zhahara minha) : “Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang
mengatakan,’Yang dimaksudkan adalah wajah dan dua telapak tangan.”
Pendapat yang sama juga dinyatakan Imam Al-Qurthubi dalam kitab
tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, Juz XII hal. 229 (Al-Albani, 2001
: 50 & 57).
Jadi,
yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua
telapak tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari
kalangan muslimah di hadapan Nabi SAW sedangkan beliau mendiamkannya.
Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti
haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa
Rasulullah SAW, yaitu di masa masih turunnya ayat Al Qur`an (An-Nabhani,
1990 : 45). Di samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan
bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua
telapak tangan karena sabda Rasulullah SAW kepada Asma` binti Abu Bakar :
'Wahai
Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka
tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya
menunjukkan wajah dan telapak tangannya.' (HR. Abu Dawud)
Inilah
dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh
wanita itu adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka
diwajibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh
tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.
b. Busana Muslimah dalam Kehidupan Khusus
Adapun
dengan apa seorang muslimah menutupi aurat tersebut, maka di sini
syara’ tidak menentukan bentuk/model pakaian tertentu untuk menutupi
aurat, akan tetapi membiarkan secara mutlak tanpa menentukannya dan
cukup dengan mencantumkan lafadz dalam firman-Nya (QS An Nuur : 31) “wa
laa yubdiina” (Dan janganlah mereka menampakkan) atau sabda Nabi SAW
“lam yashluh an yura minha” (tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya)
(HR. Abu Dawud). Jadi, pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali
wajah dan telapak tangan dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun
bentuknya. Dengan mengenakan daster atau kain yang panjang juga dapat
menutupi, begitu pula celana panjang, rok, dan kaos juga dapat
menutupinya. Sebab bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oleh
syara’.
Berdasarkan
hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat,
yaitu yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup bagi aurat
secara syar'i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis, maupun macamnya.
Namun
demikian syara' telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian yang
dikenakan dapat menutupi kulit. Jadi pakaian harus dapat menutupi kulit
sehingga warna kulitnya tidak diketahui. Jika tidak demikian, maka
dianggap tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila kain penutup itu
tipis/transparan sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui
apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain penutup seperti
ini tidak boleh dijadikan penutup aurat.
Mengenai
dalil bahwasanya syara' telah mewajibkan menutupi kulit sehingga tidak
diketahui warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA
bahwasanya Asma` binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi SAW dengan
berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah SAW berpaling seraya
bersabda :
'Wahai
Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl)
tidak boleh baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.'
(HR. Abu Dawud)
Jadi
Rasulullah SAW menganggap kain yang tipis itu tidak menutupi aurat,
malah dianggap menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi SAW
berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan
pakaian yang dapat menutupi.
Dalil
lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid, bahwasanya
ia ditanyai oleh Nabi SAW tentang Qibtiyah (baju tipis) yang telah
diberikan Nabi SAW kepada Usamah. Lalu dijawab oleh Usamah bahwasanya ia
telah memberikan pakaian itu kepada isterinya, maka Rasulullah SAW
bersabda kepadanya :
'Suruhlah
isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu, karena
sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.'(HR. Ahmad
dan Al-Baihaqi, dengan sanad hasan. Dikeluarkan oleh Adh-Dhiya’ dalam
kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah, Juz I hal. 441) (Al-Albani, 2001 : 135).
Qibtiyah
adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah SAW
mengetahui bahwasanya Usamah memberikannya kepada isterinya, beliau
memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya tidak kelihatan
warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau
bersabda : 'Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain
Qibtiyah itu.'
Dengan
demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas
bahwasanya syara' telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain
yang dapat menutupi kulit. Atas dasar inilah maka diwajibkan bagi wanita
untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis sedemikian
sehingga tidak tergambar apa yang ada di baliknya.
c. Busana Muslimah dalam Kehidupan Umum
Pembahasan
poin b di atas adalah topik mengenai penutupan aurat wanita dalam
kehidupan khusus. Topik ini tidak dapat dicampuradukkan dengan pakaian
wanita dalam kehidupan umum, dan tidak dapat pula dicampuradukkan dengan
masalah tabarruj pada sebagian pakaian-pakaian wanita.
Jadi,
jika seorang wanita telah mengenakan pakaian yang menutupi aurat, tidak
berarti lantas dia dibolehkan mengenakan pakaian itu dalam kehidupan
umum, seperti di jalanan umum, atau di sekolah, pasar, kampus, kantor,
dan sebagainya. Mengapa ? Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian
tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’. Jadi dalam kehidupan umum
tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti misalnya celana
panjang, atau baju potongan, yang sebenarnya tidak boleh dikenakan di
jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat.
Seorang
wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang dapat
menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh dipakai
di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena dengan pakaian itu ia
telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Tabarruj adalah,
menempakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki
asing/non-mahram (izh-haruz ziinah wal mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani,
1990 : 104). Oleh karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan
tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.
Pakaian
wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal)
yang disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar
(kerudung). Dengan dua pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam
kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun
binatang, atau di pasar-pasar.
Apakah
pengertian jilbab ? Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith karya Dr. Ibrahim
Anis (Kairo : Darul Maarif) halaman 128, jilbab diartikan sebagai “Ats
tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh
tubuh), atau “Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah” (pakaian luar
yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju terusan),
atau “Al Mula`ah tasytamilu biha al mar`ah” (pakaian luar yang digunakan
untuk menutupi seluruh tubuh wanita).
Jadi
jelaslah, bahwa yang diwajibkan atas wanita adalah mengenakan kain
terusan (dari kepala sampai bawah) (Arab : milhafah/mula`ah) yang
dikenakan sebagai pakaian luar (di bawahnya masih ada pakaian rumah,
seperti daster, tidak langsung pakaian dalam) lalu diulurkan ke bawah
hingga menutupi kedua kakinya.
Untuk
baju atas, disyariatkan khimar, yaitu kerudung atau apa saja yang
serupa dengannya yang berfungsi menutupi seluruh kepala, leher, dan
lubang baju di dada. Pakaian jenis ini harus dikenakan jika hendak
keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum
(An-Nabhani, 1990 : 48).
Apabila
ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (jilbab dan khimar)
dibolehkan baginya keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan
melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi jika ia
tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini maka dia tidak boleh keluar
dalam keadaan apa pun, sebab perintah yang menyangkut kedua jenis
pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, dan tetap dalam keumumannya
dalam seluruh keadaan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Dalil
mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini, karena firman Allah
SWT mengenai pakaian bagian bagian atas (khimar/kerudung) :
'Hendaklah
mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.' (QS An Nuur :
31)
Dan karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah (jilbab) :
'Wahai
Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mu'min: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.'
(QS Al Ahzab : 59)
Adapun
dalil bahwa jilbab merupakan pakaian dalam kehidupan umum, adalah
hadits yang diriwayatkan dari Ummu 'Athiah RA, bahwa dia berkata :
'Rasulullah
SAW memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka
Ummu ‘Athiyah berkata,’Salah seorang di antara kami tidak memiliki
jilbab?” Maka Rasulullah SAW menjawab: 'Hendaklah saudarinya meminjamkan
jilbabnya kepadanya!'(Muttafaqun ‘alaihi) (Al-Albani, 2001 : 82).
Berkaitan
dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam
kitabnya Faidhul Bari, Juz I hal. 388, mengatakan : “Dapatlah dimengerti
dari hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita
keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar [rumah] jika tidak mengenakan
jilbab.” (Al-Albani, 2001 : 93).
Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai
pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat
pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita
agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan
menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu 'Athiah
RA di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab –untuk keluar
di lapangan sholat Ied (kehidupan umum)—maka dia harus meminjam kepada
saudaranya (sesama muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi SAW tidak
akan memerintahkan wanita mencari pinjaman jilbab.
Untuk
jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai
ke bawah sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan :
“yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan
jilbab-jilbab mereka.).
Dalam
ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah yurkhiina
ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini
–yaitu idnaa` berarti irkhaa` ila asfal-- diperkuat dengan dengan hadits
Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda :
“Barang
siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak
akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah
berkata,’Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian
mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi SAW menjawab,’Hendaklah mereka
mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)’(yakni dari separoh
betis). Ummu Salamah menjawab,’Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan
tersingkap.’ Lalu Nabi menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta
(fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka menambah lagi dari itu.” (HR.
At-Tirmidzi Juz III, hal. 47; hadits sahih) (Al-Albani, 2001 : 89)
Hadits
di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi SAW, pakaian luar
yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah --yaitu jilbab-- telah
diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.
Berarti
jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa
terulur sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan
seorang wanita muslimah dianggap belum melaksanakan perintah “yudniina
‘alaihinna min jalaabibihina” (Hendaklah mereka mengulurkan
jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min
lit tab’idh (yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil
bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah “Hendaklah
mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka” (sehingga boleh
potongan), melainkan Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka
(sehingga jilbab harus terusan).(An-Nabhani, 1990 : 45-51)
3. Penutup
Dari
penjelasan di atas jelas bahwa wanita dalam kehidupan umum wajib
mengenakan baju terusan yang longgar yang terulur sampai ke bawah yang
dikenakan di atas baju rumah mereka. Itulah yang disebut dengan jilbab
dalam Al Qur`an.
Jika
seorang wanita muslimah keluar rumah tanpa mengenakan jilbab seperti
itu, dia telah berdosa, meskipun dia sudah menutup auratnya. Sebab
mengenakan baju yang longgar yang terulur sampai bawah adalah fardlu
hukumnya. Dan setiap pelanggaran terhadap yang fardlu dengan sendirinya
adalah suatu penyimpangan dari syariat Islam di mana pelakunya dipandang
berdosa di sisi Allah. [ ]
DAFTAR BACAAN
Al-Albani,
Muhammad Nashiruddin. 2001. Jilbab Wanita Muslimah Menurut Al-Qur`an
dan As Sunnah (Jilbab Al-Mar`ah Al-Muslimah fi Al-Kitab wa As-Sunnah).
Alih Bahasa Hawin Murtadlo & Abu Sayyid Sayyaf. Cetakan ke-6. (Solo :
At-Tibyan).
----------.
2002. Ar-Radd Al-Mufhim Hukum Cadar (Ar-Radd Al-Mufhim ‘Ala Man Khalafa
Al-‘Ulama wa Tasyaddada wa Ta’ashshaba wa Alzama Al-Mar`ah bi Satri
Wajhiha wa Kaffayha wa Awjaba). Alih Bahasa Abu Shafiya. Cetakan ke-1.
(Yogyakarta : Media Hidayah).
Al-Baghdadi,
Abdurrahman. 1998. Emansipasi Adakah dalam Islam Suatu Tinjauan Syariat
Islam Tentang Kehidupan Wanita. Cetakan ke-10. (Jakarta : Gema Insani
Press).
Ali, Wan Muhammad bin Muhammad. Al-Hijab. Alih bahasa Supriyanto Abdullah. Cetakan ke-1. (Yogyakarta : Ash-Shaff).
Ambarwati, K.R. & M. Al-Khaththath. 2003. Jilbab Antara Trend dan Kewajiban. Cetakan Ke-1. (Jakarta : Wahyu Press).
Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jamul Wasith. Cet. 2. (Kairo : Darul Ma’arif)
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam. Cetakan ke-3. (Beirut : Darul Ummah).
Ath-Thayyibiy, Achmad Junaidi. 2003. Tata Kehidupan Wanita dalam Syariat Islam. Cetakan ke-1. (Jakarta : Wahyu Press).
Bin
Baz, Syaikh Abdul Aziz et.al. 2000. Fatwa-Fatwa Tentang Memandang,
Berkhalwat, dan Berbaurnya Pria dan Wanita (Fatawa An-Nazhar wa
al-Khalwah wa Al-Ikhtilath). Alih Bahasa Team At-Tibyan. Cetakan ke-5.
(Solo : At-Tibyan).
Taimiyyah,
Ibnu. 2000. Hijab dan Pakaian Wanita Muslimah dalam Sholat (Hijab
Al-Mar`ah wa Libasuha fi Ash-Shalah). Ditahqiq Oleh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani. Alih Bahasa Hawin Murtadlo. Cetakan ke-2. (Solo :
At-Tibyan).