Friday, December 23, 2011

Wara' Di Era Modern ?

Sehari-hari kita kita digerakkan oleh hasrat meraih sesuatu yang muncul dari keinginan dan cita-cita. Keinginan yang seringkali melebihi batas-batas kewajaran, kesederhanaan yang proporsional. Pada saat yang sama kita sebenarnya telah melampaui batas "manusiawi kehambaan" kita kepada Allah. Berarti kita tidak memiliki sikap Wira'i atau Wara'.
Kita sedang bekerja keras dengan ambisi kita untuk meraih kekayaan dan fasilitas yang lengkap. Tetapi ketika ukuran kekayaan itu telah melebihi proporsi yang kita butuhkan sehari-hari, kita telah terlempar dari kewara'an itu sendiri. Wara' dalam bekerja, adalah sikap wajar menjalankan tugas kehidupan secara syar'i, sedangkan jiwa dan nurani kita tidak terkotori oleh pengaruh keindahan dunia dann keramaian di sisi kita. Seorang yang memiliki Wara', ia selalu menjaga agar tidak berlebihan, baik dalam ucapan, tindakan, hasrat dan keinginan.

Rasulullah saw, menggambarkan Kewara'an itu melalui haditsnya yang terkenal, "Salah satu tanda baiknya ke-Islaman seseorang, apabila orang itu meninggalkan hal-hal yang tidak perlu."

Beliau juga melanjuutkan, "Jadilah dirimu orang yang Wara', maka anda akan benar-benar menjadi ahli ibadah." (hr. Ibnu Majah)

Banyak orang merasa mendapat peluang yang halal, kemudian ia raup peluang itu tanpa menghiraukan lingkungan sosial, apalagi menghiraukan kecemburuan hati nuraninya yang dicampakkan oleh pesona duniawiyah. Hati kita, ruh kita, sirr kita teramat cemburu ketika kita mulai berpaling kepada iming-iming dunia, walau pun itu halal. Kenapa demikian? Tidak semua yang halal yang ada di depan kita itu ketika menjadi milik kita dinilai sebagai sesuatu yang berkah.

Sebab ketika seseorang meliarkan matahatinya pada pemberian Ilahi, yang membuat dirinya justru lupa kepadaNya, pada saat yang sama keberkahan dibalik anugerah itu seperti tercerabut dari akar rizki itu. Kenapa? Karena tiba-tiba ia menjadi manusia kikir, bakhil, pelit, dan egoistis, lalu sombong. Lalu ia lupa diri.

Wara', sesungguhnya memiliki makna kehati-hatian. Hati-hati terhadap hal-hal yang halal, apalagi terhadap hal-hal yang haram. Karena itu dalam proses tahapan ruhani, Wara' disebut sebagai awal dari tindakan Zuhud, atau tindakan mencampakkan pesona duniawi dari jiwa hamba Allah Ta'ala.

Apakah manusia modern bisa bebas dari syubhat, baik secara syar'y maupun hakiki? Bisa dan mudah. Bahkan saking mudahnya Sufyan ats-Tsaury meegaskan, "Saya tidak melihat yang lebih mudah ketimbang Wara'. Jadi apa yang mengganjak dalam dirimu, tinggalkan saja!".

Banyak simpang siur mulai dari soal syariat hingga soal hakikat mengenai sikap hati-hati kita menghadapi kemodernan. Soal-soal yang berkaitan dengan syariat bisa dilihat lebih luwes, tidak radikal dan tidak keras, tanpa mengurangi sikap hati-hati kita. Tetapi soal hakikat, soal kejiwaan dan keruhanian kita, apakah kita hidup di abad modern atau di abad nomaden, abad batu, abad debu, kapasitas psikhologi manusia tetap sama.

Justru banyak orang yang larut dalam lumpur modernisme ketika Wara' diabaikan. Modernisme sebagai sesuatu instrument untuk kemajuan manusia, memiliki nilai positip, darimana pun datangnya. Tetapi sikap psikhologi kita menghadapi norma kebebasan yang yang liar telah menumbuhkan ambisi nafsu baru untuk menjadi budak modernitas. Ujungnya adalah kekuasaan, fasilitas, materi, dan eksotisme. Dann itulah penderitaan dan penyakit paling mengerikan.

Mestinya manusia modern memiliki ketegasan dan kesahajaan. Ketegasan terhadap hal-hal yang meragukan dan skeptis. Ketegasan terhadap larangan Allah. Ketegasan terhadap hal-hal yang menggalaukan jiwa kita. "Tinggalkan hal-hal yang meragukan, menuju hal yang pasti." Demikian sabda Nabi SAW.

Karena itu Wara' sesungguhnya menjadi benteng manusia modern. Karena dengan Wara' manusia modern akan memiliki kekuatan jiwa yang luar biasa, antara lain:


Wara' menumbuhkan kesatriaan, kejujuran, kesahajaan, kesederhanaan, dan sikap sosial yang positip.
Wara' menjauhkan sikap berlebihan, egoisme, kesombongan, dan ambisi materi.
Wara' mendorong manusia untuk menjadi hamba yang merdeka dari kepentingan-kepentingan selain Allah, karena hakikat Wara' adalah sikap waspada terhadap segala hal selain Allah.
Wara' menghantar kita untuk tulus dan ikhlas dalam beramal hanya untuk Allah. Karena tanpa wara', ubudiyah kita akan terseret pada hal-hal yang menyimpang, dan jauh dari keikhlasan.
Wara' menghilangkan sikap kepura-puraan kita, basa basi kita, penipuan-penipuan kita, kemunafikan kita, kefasikan kita, dan membebaskan diri kita dari penjara nafsu kita.
Wara' adalah awal dari ketaqwaan kita.

Wara' akan menghantar kita terus menerus memandang Allah dalam setiap hal-hal yang halal. Karena itulah Wara' akan mendorong kita untuk terus bersyukur, sebab dibalik yang kita pandang, ada Nama Allah di sana.

Wara' adalah nuansa majlis Ilahi. Karenanya Abu Hurairah mengatakan, "Orang-orang yang berada di majlis Allah kelak, adalah ahli wara' dan Zuhud."
Wara' membuat manusia tidak dzalim, karena ia senantiasa berbuat adil, proporsional, dan wajar.
Wara' menjauhkan kita dari KKN.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah pemimpin dan presiden yang Wara', karena itu ia tidak mau menyalakan lampu milik Negara, ketika seorang berbicara dengannya di luar urusan Negara.

Fenomena Wara' di abad ini, ibarat benda di tengah keterasingan gurun yang gersang. Benda aneh, karena manusia modern justru nestapa dengan kemodernannya, hanya karena manjauhi kewara'an sehari-hari. Lalu individu-individunya mengabaikan moralitas, keluarganya berantakan, tatanan sosialnya hancur, hokum direkayasa, keadilan dirobohkan, kekuasaan dijadikan berhala. Itulah kewara'an yang terlempar di kesunyian manusia modern.

Coba kita tengok di jendela luar sana. Tragedi manusia modern itu:
Mereka mulai terasing dengan Allah, dan merasa tersentak ketika nama Allah disebut, bahkan sampai pada titik sinis, ketika Nama Allah diungkapkan.
Mereka berselingkuh dengan hasrat-hasrat duniawi, lalu mengabaikan Allah, kemudian melupakan Allah sama sekali.
Mereka memburu fatamorgana, walau pun berkali-kali mereka menderita karena angan dan imajinasinya, toh tetap saja mereka ulangi tindakannya itu.
Mereka diseret oleh kegilaan-kegilaan atasnama kebebasan dan kepuasan, sebagai wujud eksistensi yang dibanggakan.
Mereka terjebak oleh sebuah permaian, game, dan perjudian pasar bebas, sampai tingkat politik paling mengerikan:membunuh sesama, menghisap darah sesama, dan mengekploitasi sumber alam secara membabi buta.

Wara’ yang paling berpengaruh terhadap umat adalah yang di lakukan oleh Negera dengan menerapka syariat islam secara keseluruhan dalam bingkai Daulah Islam.
Waallau alam

Hakikat Cinta

 



















Dari Anas ra., sesungguhnya Nabi saw. Bersabda:
“Ada tiga perkara, siapa saja yang memilikinya ia  telah menemukan manisnya iman. Yaitu orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lainnya; orang yang mencintai seseorang hanya karena Allah; dan orang yang tidak suka kembali kepada kekufuran sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke Neraka. (Mutafaq ‘alaih)”
Iman merupakan hal yang mendasar yang ada pada setiap manusia yang berakal. Iman pula yang telah mempertemukan kita dengan Dzat Yang Maha Agung yang telah menciptakan kita, dengan segala apa yang terjadi dalam keadaan saat  ini. Hadits di atas telah menjelaskan betapa nikmatnya iman, setelah kita menemukan tiga hal yang disebutkan dalam hadits itu maka kita akan mendapatkan intisari kehidupan ini.

Hakekat cinta kepada Allah SWT dan Nabi SAW ialah mengutamakan segala sesuatu yang bertujuan untuk mendekatkan diri kita kepada-Nya, mencontoh kehidupan rasul-Nya, serta menegakkan islam dengan syariatnya sebagai media cinta tersebut. Oleh karena itu, aspek Ibadah, Dakwah dan Jihad menjadi urusan terdepan dalam kehidupan ini dengan menyertai aqidah,Syariah dan akhlak sebagai alat ketiga hal itu. Ikrar syahadat yang telah terekam dalam hati dan otak kita adalah bukti nyata awal seorang hamba dalam kesungguhan menjalankan cintanya itu.

Mereka yang bersender pada Allah SWT serta berharap hanya mendapat Keridhoan dan dan Rahmat-Nya lah yang bisa disebut sebagai hamba bertaqwa. Sebagaimana Allah SWT nyatakan dengan indah dalam Al-Quran.

218.    Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Al-Baqarah:218)

Hakikat cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yang selalu mengedepankan kebahagiaan Akhirat yang disandarkan pada Al-Quran dan Al-Hadits, akan menuju pribadi manusia yang selalu berpikir,melakukan sesuatu perbuatan, dan perkataan yang luar biasa dengan batasan hukum-hukum Allah SWT. Pribadi-pribadi itu akan melahirkan para penegak dinul islam yang taraf ide dan pemikirannya telah kokoh sehingga saat pemikiran dan ide-ide berpola barat serta primitif mereka jumpai maka ide-ide itu dengan sendiri akan terbuang. Sungguh aneh di zaman sekarang, saat identitas ulama, syaikh, ustadz, profesor, ataupun apalah namanya yang mengidentikan seseorang pada ketakwaan namun, pada faktanya pemikiran orang-orang tersebut adalah pemikiran berdasarkan materi, berlandaskan pemikiran sekulerisme, pluralisme, sosialisme, liberalisme, dan lainnya yang membantah sendiri, ayat-ayat Allah SWT dan Rasul-Nya.

Hadits dari Abdullah bin Mas’ud riwayat al_hakim dalam al-Mustadrak, bahwasannya Ibnu Mas’ud berkata, Rasulullah saw pernah bersabda kepadaku:
“Wahai Abdullah bin Mas’ud! Ibnu Mas’ud berkata, “Ada apa Ya Rasulullah                (Ia mengatakan tiga kali). “Rasulullah saw bertanya, “Apakah engkau tahu, tali keimanan manakah yang paling kuat ?” Aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. “Rasulullah bersabda, “ Tali keimanan yang paling kuat adalah loyalitas kepada Allah, dengan mencintai dan membenci(segaa sesuatu) hanya karena-Nya.”(al-Hadits)

Hadits di atas telah melukiskan bahwa tali keimanan yang selalu berlandaskan dan dikembalikan kepada Allah SWT, itulah tali keimanan paling kuat. Tali keimanan yang mampu menjaga seorang muslim agar tidak keluar dari pemikiran, perkataan dan perbuatan islam. Lihatlah keadaan saat ini, di mana pemikiran telah di atur sedemikian hinanya, saat pola pikir kaum muslim saat ini didasarkan pada perasaan sehingga disaat lingkungan disekitarnya menolak poligami maka ia pun ikut-ikutan menolak tanpa dasar hukum yang jelas. Ataupun saat para remaja muslim saat ini mengumbar aurat maka terlihat adalah hal yang biasa, ataupun saat sebuah kesucian bukan lagi menjadi barang mahal yang saat ini dengan mudah hilang begitu saja. Maka hendaknya, kita harus melepaskan pola pikir kita yang selalu dilandaskan perasaan yang seringkali tidak memakai aturan islam bahkan menyimpang jauh dari al-quran dan sunah Rasul.

Dan tanda manisnya iman yang kedua yaitu kecintaan kepada seseorang karena Allah SWT. Inilah yang selalu menjadi pegangan para sahabat rasulullah SAW, mereka saling mencintai, saling menghormati, saling menghargai, bukan karena kesukuan, bukan pula karena kekayaan, namun karena mereka mencintai sesamanya karena Allah SWT. Lihatlah saat kaum Anshar menyambut para kaum muhajirin saat tiba di Madinah. Mereka menyambut dengan wajah berseri, dengan senyum ikhlas, bahkan kaum anshar rela melepas harta dan keluarga mereka hanya untuk membahagiakan kaum muhajirin yang baru tiba.

Apa ciri-ciri seseorang mencintai saudaranya karena Allah Azza wa Jalla. Diantaranya, rasulullah SAW telah menjelaskannya dalam Hadits Mutafaq ‘alaih dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW. Bersabda:
“Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, ia tidak akan mendzaliminya dan tidak akan membiarkannya binasa. Barangsiapa berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang menghilangkan kesusahan dari seorang muslim, maka dengan hal itu Allah akan menghilangkan salah satu kesusahannya dari kesusahan-kesusahan di hari kaimat. Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat.”

Bila dikaji dengan benar, maka hadits ini layak menjadi landasan hidup dari seluruh kaum muslim dalam rangka menjalin silaturahim, memperkuat tali ukhuwah, dan menjadikan kerangka hidup masyarakat. Sungguh, seandainya seluruh kaum muslimin sadar betapa indahnya kesatuan dan kebersamaan dengan landasan aqidah islam, dengan aturan syariat islam, dengan prilaku akhlaqul karimah maka tidak akan kita temui di belahan bumi manapun kesengsaraan menimpa kaum yang telah diridloi Allah ini.

Aneh memang, saat di belahan bumi lain, seperti Palesitina, Irak, Sudan, Afghanistan, Muslim Moro, Muslim thailand selatan, dan di negeri yang berpenduduk muslim yang sedang dalam keadaan terjerat penindasan, serta kelaparan sedang muslim di negeri lainnya hidup dalam kejayaan, kemakmuran serta keamanan tidak satu pun terketuk hatinya untuk membantu mereka. Bukan membantu dalam bentuk materiil saja namun fisik secara langsung. Kebengisan dan kesadisan tentara kafir laknatullah ‘alaih terhadap saudara-saudara kita yang lainnya, hanya mampu kita katakan kebencian terhadap perbuatan mereka, tampak ada tindakan secara nyata yang mampu memukul mundur para penjajah. Kaum muslim tampak asyik tersekat-sekat dalam bingkai sukuisme dan nasionalisme. Kita pula tampak asyik bergulat sendiri, dalam kondisi kesussahan kita dalam kehidupan sehari-hari. Sampai-sampai ada kalimat yang sebenarnya meruntuhkan hakikat cinta kaum muslim, “Mengurus diri sendiri saja belum mampu, kenapa kita harus ikut campur urusan orang lain”. Padahal Allah amat benci melihat saudara sesama muslim sendiri dibiarkan menuju kebinasaan dan didzhalimi oleh kekuatan kafir.

Dalam kehidupan keseharian pun sesama muslim, nampak sengaja membuat kondisi muslim lainnya dipersulit. Lihat saja sistem peminjaman keuangan yang kadang kala merugikan si peminjam yang membuat kondisinya semakin tercekik. Ataupun sekelompok manusia yang tengah menghambur-hamburkan uang begitu mudah di jalan kemaksiatan sedangkan di sekitar mereka banyak masyarakat yang saat malam belum dapat tertidur tenang saat perut mereka menggerutu dahsyat akibat kelaparan teramat sangat. Atau seringkali kita jumpai kondisi di mana orang mempersulit kebutuhan orang lain, semisal saat orang membutuhkan pasokan minyak tanah malah sebagian lainnya sengaja menimbun agar meraih keuntungan melangit di saat masyarakat membutuhkan minyak.

Saat ini pula, dengan sengaja orang-orang mengungkapkan aib orang lain secara vulgar, sehingga orang yang diceritakan nampak mengalami kesedihan luar biasa, mengungkap-ungkap masa lalu yang kelam kepada orang lain, padahal saat ini ia tengah dalam kondisi bergelimang air mata taubat. Media-media elektronik dan cetak nampak sengaja pula membuat berita-berita bohong, membesar-besarkan suatu masalah, atau ghibah pada seseorang yang membuat pribadi orang tersebut menjadi buruk, tercela dan terhina.

Seharusnya sesama muslim adalah bagaikan rantai yang saling menguatkan satu sama lainnnya, yang selalu terikat pada aturan Allah SWT, yang perasaanya disandarkan kecintaan Allah SWT, dan perbuatan dalam bermasyarakatnya karena Allah sehingga hasil yang tercapai ialah akan memudahkan muslim lainnya di tengah kesusahan yang menyelimuti mereka. Namun di tengah kondisi saat ini amatlah sulit menemukan kondisi masyarakat yang perasaan, pemikiran, dan perbuatan diikat oleh islam, karena sekulerisme, pluralisme, kapitalisme, dan sosialisme telah menghapuskan ikatan itu, telah menguasai masyarakat, sehingga azas yang dipakai ialah azas manfaat yaitu bila sesuatu itu bermanfaat maka mereka pakai dan bila sesuatu itu membuat mereka rugi dan tak bermanfaat maka mereka buang.

Sementara sifat kemanisan iman yang ketiga yaitu enggan kembali dalam kekufuran. Ia meninggalkan segala macam sifat yang dahulu menyelimuti jiwanya hingga ia gelap dalam agama. Ia bersujud kepada Allah SWT dengan penuh kekhusyukan mengharap ampunan taubat. Ia mengusir kekufurannya itu dengan melafadzkan dzikir, merubah perbuatannya menjadi dakwah bagi setiap orang, dan perkataannya ia nampakkan dalam syair-syair cinta kepada Allah dan bertutur lembut penuh kehalusan. Ia sadar bahwa jiwanya ada yang memilikinya. Sehingga saat ia ingin kembali dalam kehidupan kufur, meskipun di paksa ia tidak rela. Ia tahu, bila ia kembali pada masa kelamnya, melakukan kemaksiatan, dan ia tahu itu adalah suatu kenistaan maka Allah SWT menempatkannya dalam Neraka yang bahan bakarnya dari manusia.

Itulah hakekat cinta seorang manusia. Hakekat cinta yang dipupuk dalam ghorizah  dan ia tahu kemana ghorizah itu ia tujukan. Ia mengetahui bahwa keindahan surga, menatap arsy’ Allah, dan berjumpa dengan sang pembimbing ummat, adalah lebih baik baginya. Ia menyingkirkan segala pemikiran,perkataan dan perbuatan yang telah dilahirkan oleh aturan sekulerisme,kapitalisme, dan sosialisme. Hakikat cinta yang dapat menjadikannya pengemban dakwah yang setia, lurus, dan senantiasa melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Daninilah yang akan melahirkan barisan-barisan pejuang islam di garis terdepan memimpin ummat untuk bersama-sama menegakkan Syariat Islam dan mengembalikan kaum muslim dalam konstitusi islam yaitu Daulah Islamiyyah.

Surat Dari Muhammad Al Fatih Untuk Para Pemimpin

 















Ada sebuah kisah menarik yang pernah saya baca terkait dengan kecerdasan Muhammad al Fatih saat usianya masih muda. Ketika ia mendapatkan amanah dari ayahnya Sulthan Murad II untuk memimpin ibu kota karena pada saat itu beliau hendak pergi beruzlah untuk bertaqorub kepada Allah.
Pada saat melaksanakan amanah ini, Muhammad al Fatih mendapatkan serangan dari Pasukan Salib di Varna-Bulgaria. Terdesak karena masih minimnya jam terbang dalam menjalankan pemerintahan, kemudian ia meminta ayahnya untuk turun membantunya, namun ayahnya selalu menolaknya. Beberapa kali ia mengirim surat kepada ayahnya, namun bantuan yang diharapkan tak kunjung dating. Akhirnya, al-Fatih menulis ‘surat sakti’ kepada ayahnya yang isinya (dalam terjemah bahasa bebasnya):


Surat al-Fatih pada ayahnya (Murad II) yang pergi  beruzlah:
Siapakah yang saat ini menjadi sulthan Saya atau ayah?
Kalau ayahanda yang menjadi sulthan,
maka seharusnya seorang pemimpin berada di tengah rakyatnya dalam situasi seperti ini
Kalau Saya yang menjadi sulthan, maka sebagai pemimpin,
saya perintahkan ayahanda sekarang juga untuk datang kemari ikut memimpin pasukan membela rakyat.

Hormat Ananda
Muhammad al-Fatih


Skak match! Kalah cerdas dan tidak mempunyai alasan lagi, akhirnya ayahnya turun ke medan perang untuk menjadi pemimpin bagi anaknya.

Sebuah Ibrah
Dari kisah di atas ada beberapa ibrah yang memberikan inspirasi dakwah bagi saya, diantaranya :
1.Seandainya al Fatih berada di tengah-tengah kita pada kondisi seperti saat ini, dia akan menulis surat untuk para pemimpin negeri ini :


Surat al-Fatih untuk para pemimpin
Siapakah yang saat ini menjadi sulthan Saya atau Anda?
Kalau Anda yang menjadi sulthan,
maka seharusnya seorang pemimpin berada di tengah rakyatnya dalam situasi seperti ini
Kalau saya yang menjadi sulthan, maka sebagai pemimpin,
Saya perintahkan Anda sekarang juga untuk datang kemari ikut berjuang bersama ummat menerapkan Syariat Islam secara Kaffah dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah.

Hormat Saya
Muhammad al-Fatih


2. Mungkin perlu juga kita mengirimkan surat semisal ini kepada ayah kita ataupun kita sendiri. Karena walaupun bukan sebagai kepala Negara, tetapi amanah sebagai kepala rumah tangga juga akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Sudahkah keluarga kita menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, wa rahmah + dakwah?

3. Kita perlu menanamkan semangat jiwa al Fatih pada diri kita, karena meskipun gelar ‘sebaik-baik pemimpin’ telah diraih oleh Muhammad al Fatih karena berhasil mewujudkan bisyaroh nubuwah dengan menaklukkan Konstantinopel. Janganlah kita lupa karena masih ada kesempatan bagi kita untuk mewujudkan bisyaroh nubuwah yang lain, yaitu dengan berjuang bersama untuk mewujudkan tegaknya kembali Daulah Khilafah Islamiyah ‘ala Minhajin Nubuwah. Isnya Allah.
Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam bishowab.

Ciri Wanita Muslimah Ahli Surga



Tentunya setiap wanita Muslimah ingin menjadi ahli Surga. Pada hakikatnya wanita ahli Surga adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh ciri-cirinya merupakan cerminan ketaatan yang dia miliki. Di antara ciri-ciri wanita ahli Surga adalah :
  1. Bertakwa.
  2. Beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.
  3. Bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan naik haji bagi yang mampu.
  1. Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah, jika dia tidak dapat melihat Allah, dia mengetahui bahwa Allah melihat dirinya.
  2. Ikhlas beribadah semata-mata kepada Allah, tawakkal kepada Allah, mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut terhadap adzab Allah, mengharap rahmat Allah, bertaubat kepada-Nya, dan bersabar atas segala takdir-takdir Allah serta mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan kepadanya.
  3. Gemar membaca Al Qur’an dan berusaha memahaminya, berdzikir mengingat Allah ketika sendiri atau bersama banyak orang dan berdoa kepada Allah semata.
  4. Menghidupkan amar ma’ruf dan nahi mungkar pada keluarga dan masyarakat.
  5. Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan seluruh makhluk, serta berbuat baik terhadap hewan ternak yang dia miliki.
  6. Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, memberi kepada orang, menahan pemberian kepada dirinya, dan memaafkan orang yang mendhaliminya.
  7. Berinfak, baik ketika lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarah dan memaafkan manusia.
  8. Adil dalam segala perkara dan bersikap adil terhadap seluruh makhluk.
  9.  Menjaga lisannya dari perkataan dusta, saksi palsu dan menceritakan kejelekan orang lain (ghibah).
  10. Menepati janji dan amanah yang diberikan kepadanya.
  11. Berbakti kepada kedua orang tua.
  12. Menyambung silaturahmi dengan karib kerabatnya, sahabat terdekat dan terjauh.
Demikian beberapa ciri-ciri wanita Ahli Surga yang kami sadur dari kitab Majmu’ Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah juz 11 halaman 422-423. Ciri-ciri tersebut bukan merupakan suatu batasan tetapi ciri-ciri wanita Ahli Surga seluruhnya masuk dalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman :

"...Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal

JILBAB DAN KHIMAR, BUSANA MUSLIMAH DALAM KEHIDUPAN UMUM


Image 


















1. Pengantar
Banyak kesalahpahaman terhadap Islam di tengah masyarakat. Misalnya saja jilbab. Tak sedikit orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah kerudung. Padahal tidak demikian. Jilbab bukan kerudung. Kerudung dalam Al Qur`an surah An Nuur : 31 disebut dengan istilah khimar (jamaknya : khumur), bukan jilbab. Adapun jilbab yang terdapat dalam surah Al Ahzab : 59, sebenarnya adalah baju longgar yang menutupi seluruh tubuh perempuan dari atas sampai bawah.
Kesalahpahaman lain yang sering dijumpai adalah anggapan bahwa busana muslimah itu yang penting sudah menutup aurat, sedang mode baju apakah terusan atau potongan, atau memakai celana panjang, dianggap bukan masalah. Dianggap, model potongan atau bercelana panjang jeans oke-oke saja, yang penting ‘kan sudah menutup aurat. Kalau sudah menutup aurat, dianggap sudah berbusana muslimah secara sempurna. Padahal tidak begitu. Islam telah menetapkan syarat-syarat bagi busana muslimah dalam kehidupan umum, seperti yang ditunjukkan oleh nash-nash Al Qur`an dan As Sunnah. Menutup aurat itu hanya salah satu syarat, bukan satu-satunya syarat busana dalam kehidupan umum. Syarat lainnya misalnya busana muslimah tidak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau mencetak lekuk tubuh perempuan. Dengan demikian, walaupun menutup aurat tapi kalau mencetak tubuh alias ketat –atau menggunakan bahan tekstil yang transparan-- tetap belum dianggap busana muslimah yang sempurna.
Karena itu, kesalahpahaman semacam itu perlu diluruskan, agar kita dapat kembali kepada ajaran Islam secara murni serta bebas dari pengaruh lingkungan, pergaulan, atau adat-istiadat rusak di tengah masyarakat sekuler sekarang. Memang, jika kita konsisten dengan Islam, terkadang terasa amat berat. Misalnya saja memakai jilbab (dalam arti yang sesungguhnya). Di tengah maraknya berbagai mode busana wanita yang diiklankan trendi dan up to date, jilbab secara kontras jelas akan kelihatan ortodoks, kaku, dan kurang trendi (dan tentu, tidak seksi). Padahal, busana jilbab itulah pakaian yang benar bagi muslimah.
Di sinilah kaum muslimah diuji. Diuji imannya, diuji taqwanya. Di sini dia harus memilih, apakah dia akan tetap teguh mentaati ketentuan Allah dan Rasul-Nya, seraya menanggung perasaan berat hati namun berada dalam keridhaan Allah, atau rela terseret oleh bujukan hawa nafsu atau rayuan syaitan terlaknat untuk mengenakan mode-mode liar yang dipropagandakan kaum kafir dengan tujuan agar kaum muslimah terjerumus ke dalam limbah dosa dan kesesatan.
Berkaitan dengan itu, Nabi SAW pernah bersabda bahwa akan tiba suatu masa di mana Islam akan menjadi sesuatu yang asing –termasuk busana jilbab-- sebagaimana awal kedatangan Islam. Dalam keadaan seperti itu, kita tidak boleh larut. Harus tetap bersabar, dan memegang Islam dengan teguh, walaupun berat seperti memegang bara api. Dan in sya-allah, dalam kondisi yang rusak dan bejat seperti ini, mereka yang tetap taat akan mendapat pahala yang berlipat ganda. Bahkan dengan pahala lima puluh kali lipat daripada pahala para shahabat. Sabda Nabi SAW :
“Islam bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” (HR. Muslim no. 145)
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang memerlukan kesabaran. Kesabaran pada masa-masa itu bagaikan memegang bara api. Bagi orang yang mengerjakan suatu amalan pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh orang yang mengerjakan semisal amalan itu. Ada yang berkata,’Hai Rasululah, apakah itu pahala lima puluh di antara mereka ?” Rasululah SAW menjawab,”Bahkan lima puluh orang di antara kalian (para shahabat).” (HR. Abu Dawud, dengan sanad hasan)
2. Aurat dan Busana Muslimah
Ada 3 (tiga) masalah yang sering dicampuradukkan yang sebenarnya merupakan masalah-masalah yang berbeda-beda.
Pertama, masalah batasan aurat bagi wanita.
dua, busana muslimah dalam kehidupan khusus (al hayah al khashshash), yaitu tempat-tempat di mana wanita hidup bersama mahram atau sesama wanita, seperti rumah-rumah pribadi, atau tempat kost.
Ketiga, busana muslimah dalam kehidupan umum (al hayah ‘ammah), yaitu tempat-tempat di mana wanita berinteraksi dengan anggota masyarakat lain secara umum, seperti di jalan-jalan, sekolah, pasar, kampus, dan sebagainya. Busana wanita muslimah dalam kehidupan umum ini terdiri dari jilbab dan khimar.
a. Batasan Aurat Wanita
Aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Lehernya adalah aurat, rambutnya juga aurat bagi orang yang bukan mahram, meskipun cuma selembar. Seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT :

'Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.' (QS An Nuur : 31)
Yang dimaksud “wa laa yubdiina ziinatahunna” (janganlah mereka menampakkan perhiasannya), adalah “wa laa yubdiina mahalla ziinatahinna” (janganlah mereka menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang di situ dikenakan perhiasan). (Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul Qur`an, Juz III hal. 316).
Selanjutnya, “illa maa zhahara minha” (kecuali yang (biasa) nampak dari padanya). Jadi ada anggota tubuh yang boleh ditampakkan. Anggota tubuh tersebut, adalah wajah dan dua telapak tangan. Demikianlah pendapat sebagian shahabat, seperti ‘Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar (Al-Albani, 2001 : 66). Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) berkata dalam kitab tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur`an Juz XVIII hal. 84, mengenai apa yang dimaksud dengan “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (illaa maa zhahara minha) : “Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan,’Yang dimaksudkan adalah wajah dan dua telapak tangan.” Pendapat yang sama juga dinyatakan Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, Juz XII hal. 229 (Al-Albani, 2001 : 50 & 57).
Jadi, yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di hadapan Nabi SAW sedangkan beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah SAW, yaitu di masa masih turunnya ayat Al Qur`an (An-Nabhani, 1990 : 45). Di samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah SAW kepada Asma` binti Abu Bakar :
'Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.' (HR. Abu Dawud)
Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwajibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.
b. Busana Muslimah dalam Kehidupan Khusus
Adapun dengan apa seorang muslimah menutupi aurat tersebut, maka di sini syara’ tidak menentukan bentuk/model pakaian tertentu untuk menutupi aurat, akan tetapi membiarkan secara mutlak tanpa menentukannya dan cukup dengan mencantumkan lafadz dalam firman-Nya (QS An Nuur : 31) “wa laa yubdiina” (Dan janganlah mereka menampakkan) atau sabda Nabi SAW “lam yashluh an yura minha” (tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya) (HR. Abu Dawud). Jadi, pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak tangan dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun bentuknya. Dengan mengenakan daster atau kain yang panjang juga dapat menutupi, begitu pula celana panjang, rok, dan kaos juga dapat menutupinya. Sebab bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oleh syara’.
Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat, yaitu yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup bagi aurat secara syar'i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis, maupun macamnya.
Namun demikian syara' telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian yang dikenakan dapat menutupi kulit. Jadi pakaian harus dapat menutupi kulit sehingga warna kulitnya tidak diketahui. Jika tidak demikian, maka dianggap tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila kain penutup itu tipis/transparan sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup aurat.
Mengenai dalil bahwasanya syara' telah mewajibkan menutupi kulit sehingga tidak diketahui warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA bahwasanya Asma` binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi SAW dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah SAW berpaling seraya bersabda :
'Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak boleh baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.' (HR. Abu Dawud)
Jadi Rasulullah SAW menganggap kain yang tipis itu tidak menutupi aurat, malah dianggap menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi SAW berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi.
Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi SAW tentang Qibtiyah (baju tipis) yang telah diberikan Nabi SAW kepada Usamah. Lalu dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah memberikan pakaian itu kepada isterinya, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya :
'Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.'(HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, dengan sanad hasan. Dikeluarkan oleh Adh-Dhiya’ dalam kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah, Juz I hal. 441) (Al-Albani, 2001 : 135).
Qibtiyah adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah SAW mengetahui bahwasanya Usamah memberikannya kepada isterinya, beliau memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau bersabda : 'Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu.'
Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwasanya syara' telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain yang dapat menutupi kulit. Atas dasar inilah maka diwajibkan bagi wanita untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis sedemikian sehingga tidak tergambar apa yang ada di baliknya.
c. Busana Muslimah dalam Kehidupan Umum
Pembahasan poin b di atas adalah topik mengenai penutupan aurat wanita dalam kehidupan khusus. Topik ini tidak dapat dicampuradukkan dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum, dan tidak dapat pula dicampuradukkan dengan masalah tabarruj pada sebagian pakaian-pakaian wanita.
Jadi, jika seorang wanita telah mengenakan pakaian yang menutupi aurat, tidak berarti lantas dia dibolehkan mengenakan pakaian itu dalam kehidupan umum, seperti di jalanan umum, atau di sekolah, pasar, kampus, kantor, dan sebagainya. Mengapa ? Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’. Jadi dalam kehidupan umum tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti misalnya celana panjang, atau baju potongan, yang sebenarnya tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat.
Seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang dapat menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh dipakai di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena dengan pakaian itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Tabarruj adalah, menempakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki asing/non-mahram (izh-haruz ziinah wal mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani, 1990 : 104). Oleh karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.
Pakaian wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal) yang disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar (kerudung). Dengan dua pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di pasar-pasar.
Apakah pengertian jilbab ? Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith karya Dr. Ibrahim Anis (Kairo : Darul Maarif) halaman 128, jilbab diartikan sebagai “Ats tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau “Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah” (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju terusan), atau “Al Mula`ah tasytamilu biha al mar`ah” (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh wanita).
Jadi jelaslah, bahwa yang diwajibkan atas wanita adalah mengenakan kain terusan (dari kepala sampai bawah) (Arab : milhafah/mula`ah) yang dikenakan sebagai pakaian luar (di bawahnya masih ada pakaian rumah, seperti daster, tidak langsung pakaian dalam) lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya.
Untuk baju atas, disyariatkan khimar, yaitu kerudung atau apa saja yang serupa dengannya yang berfungsi menutupi seluruh kepala, leher, dan lubang baju di dada. Pakaian jenis ini harus dikenakan jika hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum (An-Nabhani, 1990 : 48).
Apabila ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (jilbab dan khimar) dibolehkan baginya keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi jika ia tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini maka dia tidak boleh keluar dalam keadaan apa pun, sebab perintah yang menyangkut kedua jenis pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, dan tetap dalam keumumannya dalam seluruh keadaan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini, karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bagian atas (khimar/kerudung) :
'Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.' (QS An Nuur : 31)
Dan karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah (jilbab) :
'Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.' (QS Al Ahzab : 59)
Adapun dalil bahwa jilbab merupakan pakaian dalam kehidupan umum, adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu 'Athiah RA, bahwa dia berkata :
'Rasulullah SAW memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka Ummu ‘Athiyah berkata,’Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?” Maka Rasulullah SAW menjawab: 'Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!'(Muttafaqun ‘alaihi) (Al-Albani, 2001 : 82).
Berkaitan dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya Faidhul Bari, Juz I hal. 388, mengatakan : “Dapatlah dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar [rumah] jika tidak mengenakan jilbab.” (Al-Albani, 2001 : 93).

Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu 'Athiah RA di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab –untuk keluar di lapangan sholat Ied (kehidupan umum)—maka dia harus meminjam kepada saudaranya (sesama muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi SAW tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman jilbab.
Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan : “yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka.).
Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah yurkhiina ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini –yaitu idnaa` berarti irkhaa` ila asfal-- diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda :
“Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata,’Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi SAW menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)’(yakni dari separoh betis). Ummu Salamah menjawab,’Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap.’ Lalu Nabi menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka menambah lagi dari itu.” (HR. At-Tirmidzi Juz III, hal. 47; hadits sahih) (Al-Albani, 2001 : 89)
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi SAW, pakaian luar yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah --yaitu jilbab-- telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.
Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang wanita muslimah dianggap belum melaksanakan perintah “yudniina ‘alaihinna min jalaabibihina” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tab’idh (yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah “Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka” (sehingga boleh potongan), melainkan Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan).(An-Nabhani, 1990 : 45-51)
3. Penutup
Dari penjelasan di atas jelas bahwa wanita dalam kehidupan umum wajib mengenakan baju terusan yang longgar yang terulur sampai ke bawah yang dikenakan di atas baju rumah mereka. Itulah yang disebut dengan jilbab dalam Al Qur`an.
Jika seorang wanita muslimah keluar rumah tanpa mengenakan jilbab seperti itu, dia telah berdosa, meskipun dia sudah menutup auratnya. Sebab mengenakan baju yang longgar yang terulur sampai bawah adalah fardlu hukumnya. Dan setiap pelanggaran terhadap yang fardlu dengan sendirinya adalah suatu penyimpangan dari syariat Islam di mana pelakunya dipandang berdosa di sisi Allah. [ ]
DAFTAR BACAAN
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2001. Jilbab Wanita Muslimah Menurut Al-Qur`an dan As Sunnah (Jilbab Al-Mar`ah Al-Muslimah fi Al-Kitab wa As-Sunnah). Alih Bahasa Hawin Murtadlo & Abu Sayyid Sayyaf. Cetakan ke-6. (Solo : At-Tibyan).
----------. 2002. Ar-Radd Al-Mufhim Hukum Cadar (Ar-Radd Al-Mufhim ‘Ala Man Khalafa Al-‘Ulama wa Tasyaddada wa Ta’ashshaba wa Alzama Al-Mar`ah bi Satri Wajhiha wa Kaffayha wa Awjaba). Alih Bahasa Abu Shafiya. Cetakan ke-1. (Yogyakarta : Media Hidayah).
Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1998. Emansipasi Adakah dalam Islam Suatu Tinjauan Syariat Islam Tentang Kehidupan Wanita. Cetakan ke-10. (Jakarta : Gema Insani Press).
Ali, Wan Muhammad bin Muhammad. Al-Hijab. Alih bahasa Supriyanto Abdullah. Cetakan ke-1. (Yogyakarta : Ash-Shaff).
Ambarwati, K.R. & M. Al-Khaththath. 2003. Jilbab Antara Trend dan Kewajiban. Cetakan Ke-1. (Jakarta : Wahyu Press).
Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jamul Wasith. Cet. 2. (Kairo : Darul Ma’arif)
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam. Cetakan ke-3. (Beirut : Darul Ummah).
Ath-Thayyibiy, Achmad Junaidi. 2003. Tata Kehidupan Wanita dalam Syariat Islam. Cetakan ke-1. (Jakarta : Wahyu Press).
Bin Baz, Syaikh Abdul Aziz et.al. 2000. Fatwa-Fatwa Tentang Memandang, Berkhalwat, dan Berbaurnya Pria dan Wanita (Fatawa An-Nazhar wa al-Khalwah wa Al-Ikhtilath). Alih Bahasa Team At-Tibyan. Cetakan ke-5. (Solo : At-Tibyan).
Taimiyyah, Ibnu. 2000. Hijab dan Pakaian Wanita Muslimah dalam Sholat (Hijab Al-Mar`ah wa Libasuha fi Ash-Shalah). Ditahqiq Oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Alih Bahasa Hawin Murtadlo. Cetakan ke-2. (Solo : At-Tibyan).

Memilih Wanita



Suatu malam, khalifah Umar bin Khattab RA keliling keluar masuk lorong kampung mengontrol keadaan rakyatnya, suatu pekerjaan yang rutin dilakukan beliau dalam kapasitas sebagai kepala negara. Tiba-tiba beliau mendengar sebuah percakapan menarik dari rumah seorang wanita penjual susu:
“Ayo, bangunlah! Campurkan susu itu dengan air!”
“Apakah ibu belum mendengar larangan dari Amirul Mukminin”
“Apa larangannya, Nak?”
“Beliau melarang umat Islam menjual susu yang dicampur air”
“Ah, ayo bangun. Cepatlah kau campur susu ini dengan air. Janganlah engkau takut pada Umar, mana ada dia di sini!”
“Memang Umar tidak melihat kita, Bu. Tapi Tuhannya Umar melihat kita. Maafkan ibu, saya tidak dapat memenuhi permintaanmu. Saya tidak ingin jadi orang munafik, mematuhi perintahnya di depan umum, tapi melanggar di belakangnya”.
Dialog ibu dan anak ini sungguh sangat menyentuh Umar. Khalifah yang terkenal keras itu pun luluh dan terharu hatinya. Beliau sangat kagum dengan ketakwaan gadis miskin anak penjual susu itu.
Paginya beliau memerintahkan salah seorang putranya (Ashim) untuk meminang gadis miskin tersebut, “Pergilah kau ke sebuah tempat, terletak di daerah itu. Di sana ada seorang gadis penjual susu, kalau ia masih sendiri, pinanglah dia. Mudah-mudahan Alloh akan mengaruniakanmu dengan seorang anak yang shalih yang penuh berkah”.
Firasat Umar benar. Ashim menikahi gadis mulia itu, dan dikaruniai putri bernama Ummu Ashim. Wanita ini lalu dinikahi Abdul Aziz bin Marwan, dan mereka mendapatkan seorang anak laki-laki yang kemudian menjadi seorang khalifah yang terkenal adil dan bijaksana, yaitu: Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Radhiyallohu Anhu.
Dalam memilih jodoh, tak jarang masyarakat kita masih mementingkan aspek-aspek lain sebagai kriteria: kecantikan, kekayaan, atau keturunan. Padahal seringkali semua itu justru bisa menjerumuskan kita ke lembah kenistaan.
Nabi sudah memberikan sebuah peringatan: “Janganlah kalian menikahi wanita karena kecantikannya, mungkin kecantikannya itu bisa mencelakakan. Dan jangan kamu kawini wanita karena hartanya, mungkin hartanya itu bisa menyombongkannya. Akan tetapi kawinilah mereka karena agamanya, sesungguhnya seorang hamba sahaya yang hitam warna kulitnya tetapi beragama, itu jauh lebih utama”. (HR Ibnu Majah, Al-Bazar, dan Al-Baihaqi dari Abdullah bin Umar).

Dahsyatnya Peran MUSLIMAH


Image 












Keberhasilan suatu Negara dilihat dari penduduk wanitanya, jika ia bagus maka Negara itu akan bagus, tetapi sebaliknya jika ia rusak, maka akan rusak pula Negara. Orang bijak tempo dulu berkata : Dibalik pria yang agung, ada wanita agung dibelakangnya, Mengapa bisa demikian? Ibu adalah wanita yang memiliki peran besar dalam membentuk watak, karakter dan pengetahuan seseorang. Ibu adalah ustadzah pertama, sebelum si kecil berguru kepada ustadz besar manapun. Maka kecerdasan, keuletan dan perangai sang ibu adalah faktor dominan bagi masa depan anak. Termasuk ibu susu. Karenanya Rasulullah melarang para orang tua menyusukan bayi mereka pada wanita yang lemah akal, karena susu dapat mewariskan sifat-sifat ibu pada si bayi.
Banyak kisah yang bercerita tentang kemuliaan ulama. Tentang kekuatan hafalan anas, tentang keshalihan Hasan al-Bashri, tentang kejeniusan asy-syafi’i, tentang keadilan umar bin abdul aziz atau yang lain. Kali ini kita akan tahu, siapakah gerangan dibalik mereka? Ya.. Ternyata ibunda merekalah yang memiliki peran paling utama. Bagaimana para ibu yang mulia menghantarkan putera-putera mereka yang istimewa. Semua kisah ini saya kutip dari buku IBUNDA PARA ULAMA yang ditulis oleh SUFYAN BIN FUAD BASWEDAN, banyak hikmah yang dapat kita ambil dari kisah-kisah berikut ini :
IBUNDA ANAS BIN MALIK
Anas adalah satu dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits nabi SAW, ia adalah sahabat terakhir yang wafat di bashrah setelah berumur lebih dari seratus tahun. Ibarat perguruan tinggi, Anas bin Malik RA, telah banyak ‘meluluskan’ ulama-ulama hebat dalam sejarah. Sebut saja misalnya hasan al-Bashri, Ibnu sirin,Qatadah as-Sadusi dan lain-lain. Sejak pertemuan pertamanya dengan Rasulullah SAW, Anas langsung jadi orang terdekatnya. Ia tak sekedar jadi pembantu setia Rasulullah SAW. Lebih dari itu, ia seakan menjadi asisten pribadi beliau. Sebagai asisten pribadi, pasti Rasulullah SAW mengkhususkan anas dalam masalah-masalah tertentu yang tidak diketahui sahabat lainnya. Karenanya Anas-lah yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah menggilir kesembilan istrinya dalam sepagian dengan sekali mandi.
Anas adalah sahabat yang beruntung berkat doa Rasulullah SAW. Beliau berdoa “Ya Allah, perbanyaklah harta dan keturunannya, serta panjangkanlah usianya”. Berbekal doa nabawi tadi, terkumpullah padanya beberapa keistimewaan ; usia yang panjang, anak yang banyak, harta yang melimpah, dan ilmu yang luas. Konon usianya mencapai 103 tahun. Tentang kekayaannya diriwayatkan bahwa Anas memiliki sebuah kebun yang menghasilkan buah-buahan dua kali dalam setahun, padahal kebun milik yang lain hanya sekali. Di samping itu kebunnya juga menebarkan aroma kesturi yang semerbak.
DI BELAKANGNYA ADA UMMU SULAIM RA, IBUNYA
Anas tidak lahir dari belahan batu, kecerdasannya tidak muncul begitu saja. Ada peran besar dari ummu sulaim, ibunda Anas bin malik RA, yang mewarnai kehidupan sang tokoh. Nama Ummu Sulaim yang sebenarnya adalah Ghumaisha yang artinya bermata putih. Dalam siyar-nya, adz-Dzahabi meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas RA, berkata :
“Suatu ketika Nabi SAW berkunjung ke rumah Ummu Sulaim. Begitu ibuku tahu akan kunjungan Nabi Saw, ia segera menyuguhkan kepadanya kurma dan minyak samin  “Kembalikan saja kurma dan minyak samin mu ke tempatnya semula, karena aku sedang shaum,” kata Rasulullah SAW kepada ibuku. Setelah itu Nabi SAW bangkit menuju salah satu sisi rumahku, kemudian shalat sunnah dua rakaat dan mendoakan kebaikan bagi Ummu Sulaim dan keluarganya. Maka ibu berkata kepada Beliau, “ Ya Rasulullah,aku memiliki hadiah khusus bagi mu.” Apa itu? Tanya Nabi SAW. “orang yang siap membantumu, Anas anakku,’ jawab ibu.
Seketika itulah Rasulullah SAW memanjatkan doa-doa untukku, hingga tak tersisa satu pun dari kebaikan dunia dan akhirat melainkan beliau doakan bagiku. “ Ya Allah, karuniakan lah ia harta dan keturunan, serta berkahilah keduanya baginya,”  Kata Rasulullah SAW dalam doanya. Berkat doa inilah aku menjadi orang Anshar yang paling banyak hartanya,” kata Anas mengakhiri kisahnya. Allaahu Akbar!! Alangkah besar kecintaannya kepada Rasulullah SAW hingga rela menghadiahkan buah hatinya yang baru berumur delapan tahun. Sungguh, sikapnya merupakan pelajaran berharga buat kita semua. Ummu Sulaim termasuk wanita yang cemerlang akalnya. Selain cerdas, ia juga penyabar dan pemberani. Ketiga sifat mulia inilah yang menurun kepada Anas dan mewarnai perangainya. Ya,kecerdasan biasanya melahirkan kecerdasan,kesabaran melahirkan kesabaran dan keberanian melahirkan keberanian.
KECERDASAN UMMU SULAIM
Setelah suami pertamanya meninggal, Ummu Sulaim menikah dengan Abu Thalhah. Ketika meminangnya, Abu Thalhah masih dalam keadaan musyrik. Sehingga Ummu Sulaim menolak pinangannya tersebut sampai Abu Thalhah mau masuk Islam. Anas mengisahkan cerita ini dari ibunya. “Sungguh tidak pantas seorang musyrik menikahiku. Tidakkah engkau tahu, hai Abu Thalhah, bahwa berhala-berhala sesembahanmu itu dipahat oleh budak dari suku anu,” sindir Ummu Sulaim. “jika kau sulut dengan api pun, ia akan terbakar,” lanjutnya lagi.
Maka abu Thalhah berpaling ke rumahnya. Akan tetapi kata-kata Ummu Sulaim tadi amat membekas di hatinya. “benar juga” gumamnya. Tak lama kemudian, Abu Thalhah menyatakan keislamannya. “Aku telah menerima agama yang kau tawarkan,” kata Abu Thalhah kepada Ummu Sulaim. Maka berlangsunglah pernikahan mereka berdua. “ Dan Ummu Sulaim tidak meminta mahar apapun selain keislaman Abu Thalhah,” kata Anas.
KETABAHAN UMMU SULAIM
Dari pernikahannya dengan Ummu Sulaim, Abu Thalhah dikarunai dua orang anak. Satu di antaranya amat ia kagumi, namanya Abu ‘Umair. Namun sayang, Abu Umair tidak berumur panjang. Ia dipanggil oleh Allah ketika masih kanak-kanak. Anas bercerita, “ Suatu ketika Abu Umair sakit parah tatkala adzan isya berkumandang. Seperti biasanya Abu Thalhah berangkat ke masjid. Dalam perjalanan ke masjid, anaknya, (Abu ‘Umair) dipanggil oleh Allah. Dengan cepat Ummu Sulaim mendandani jenazah anaknya, kemudian membaringkannya di tempat tidur. Ia berpesan kepada Anas agar tidak member tahu Abu Thalhah tentang kematian anak kesayangannya itu. Kemudian ia pun menyiapkan hidangan makan malam untuk suaminya.
Sepulangnya dari masjid, seperti biasa Abu Thalhah menyantap makan malamnya memudian menggauli istrinya. Di akhir malam, Ummu Sulaim berkata kepada suaminya : “ bagaimana menurutmu keluarga si fulan? Mereka meminjam sesuatu dari orang lain tapi ketika diminta mereka tidak mau mengembalikannya,merasa keberatan atas penarikan pinjaman itu.” “mereka telah berlaku tidak adil,” kata Abu Thalhah. “ Ketahuilah, sesungguhnya puteramu adalah pinjaman dari Allah dan kini Allah telah mengambilnya kembali,” kata Ummu Sulaim lirih. “inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un..” segala puji bagi Mu, ya Allah,” ucap Abu Thalhah dengan pasrah.” Selepas mengantarkan buah hatinya, keesokan harinya Abu Thalhah menghadap Rasulullah SAW. Tatkala bertatap muka dengannya, beliau mengatakan, “ semoga Allah memberkati kalian berdua nanti malam.” Maka malam itu juga Ummu Sulaim hamil lagi, mengandung Abdullah bin Abi Thalhah.
KEBERANIAN UMMU SULAIM
Sosok wanita seperti Ummu Sulaim sulit dicari tandingannya. Selain cerdas dan penyabar, ia juga seorang pemberani. Anas menceritakan bahwa suatu ketika abu Thalhah berpapasan dengan Ummu Sulaim ketika perang Hunain. Ia melihat bahwa ditangannya ada sebilah pisau, maka Abu Thalhah segera melapor kepada Rasulullah perihal Ummu Sulaim. “ Ya Rasulullah, lihatlah Ummu Sulaim keluar rumah sambil membawa pisau,” kata Abu Thalhah. ‘ Ya Rasulullah, pisau ini sengaja kusiapkan untuk merobek perut orang musyrik yang berani mendekatiku, “ jawab ummu Sulaim. Menurut adz-Dzahabi, Ummu Sulaim juga ikut terjun dalam perang Uhud bersama Rasulullah. Ketika itu ia juga kedapatan membawa sebilah pisau.
WARISAN ILMIAH UMMU SULAIM
Menurut adz-Dzahabi, Ummu Sulaim meriwayatkan empat belas hadits dari Rasulullah SAW. Satu diantaranya muttafaq ‘alaih, satu hadits khusus diriwayatkan oleh al-Bukhari, dan dua hadits oleh Muslim.
Ummu Sulaim wafat pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan RA. Semoga Allah meridhainya dan menempatkannya dalam Firdaus yang tertinggi, beserta para Nabi, shiddiqqiin, Syuhadaa, dan Shaalihiin.

Muslimah Militan

Ummu Sulaim ra.
Ibnu Ishaq mengatakan Abdulloh bin Abu Bakr berkata kepadanya bahwa Rosululloh SAW menoleh, kemudian melihat Ummu Sulaim binti Milhan yang ketika itu ikut berperang bersama suaminya, Abu Tholhah.

Ummu Sulaim mengikat pinggangnya dengan kain burdahnya, yang ia sedang mengandung Abdulloh bin Abu Tholhah, dan menaiki onta milik Abu Tholhah. Ia khawatir terlempar dari ontanya, untuk itu, ia mendekatkan kepala unta kepadanya dan masukkan tangannya ke gelang di sisi hidung onta. Rosululloh SAW bersabda kepada Ummu Sulaim, "Hai, Ummu Sulaim." Ummu Sulaim berkata, "Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu wahai Rosululloh! Aku akan membunuh mereka yang melarikan diri darimu sebagaimana engkau membunuh orang-orang yang memerangimu, karena mereka layak mendapatkannya."
Rosululloh SAW bersabda, "Bukanlah Alloh sudah cukup, wahai Ummu Sulaim?"
Ketika itu, Ummu Sulaim hanya membawa pisau. Abu Tholhah berkata kepada Ummu Sulaim. "Kenapa engkau membawa pisau seperti ini, hai Ummu Sulaim?" Ummu Sulaim menjawab, "Pisau ini sengaja aku bawa. Jika salah seorang kaum musyrikin mendekat kepadaku, aku akan menikamnya dengan pisau ini." Abu Tholhah berkata, "Wahai Rosululloh, tidakkah engkau dengar apa yang dikatakan Ummu Sulaim Ar Rumaisha?"
Tidakkah engkau mendengar wahai para muslimat!
Dinukil dari kitab Siroh Ibnu Hisyam hal. 416.

Shofiyyah binti Abdul Mutholib
Ibnu Ishaq berkata, "Yahya bin Abbad bin Abdulloh bin Az Zubair berkata kepadaku dari ayahnya yaitu Abbad yang berkata bahwa Shofiyyah binti Abdul Muthollib ra berada di benteng tinggi milik Hasan bin Tsabit. Shofiyyah binti Abdul Mutholib berkata, 'Hassan bin Tsabit berada di benteng tersebut bersama para wanita dan anak-anak. Tiba-tiba salah seorang Yahudi berjalan melewati kami mengelilingi benteng. Bani Quroidhoh telah mengumumkan perang dan membatalkan perjanjian dengan Rosululloh SAW. Tidak ada seorangpun yang bisa melindungi kami dari mereka, karena Rosululloh SAW dan kaum muslimin sedang menghadapi musuh hingga tidak bisa pergi ke tempat kami jika seseorang datang menyerang kami.
Aku berkata, "Hai Hassan, orang Yahudi ini seperti engkau lihat mengelilingi benteng. Demi Alloh, aku khawatir ia menyebarkan aurat kita kepada orang-orang Yahudi di belakang kita. Rosululloh SAW dan sahabat-sahabatnya sibuk hingga tidak bisa mengurusi kita, oleh Karena itu, turunlah engkau kepadanya dan bunuhlah dia!" Hassan bin Tsabit berkata, "Semoga Alloh mengampuni dosa-dosamu, hai anak Abdul Muthollib, demi Alloh, engkau tahu bahwa aku tidak ahli untuk tugas tersebut."
Ketika Hassan bin Tsabit berkata seperti itu dan aku tidak melihat sesuatu padanya, aku mengencangkan kainku, kemudian mengambil tongkat besi. Setelah itu, aku turun dari benteng menuju orang yahudi tersebut dan memukulnya dengan tongkat besiku hingga tewas. Setelah membunuhnya aku naik ke atas benteng dan berkata kepada Hassan bin Tsabit, "Hai Hassan, turunlah engkau ke jenazah orang Yahudi tersebut, kemudian ambillah apa yang dikenakannya, karena tidak ada yang menghalangiku untuk mengambil apa yang ia kenakannya, melainkan ia orang laki-laki." Hassan bin Tsabit berkata, "Aku tidak butuh untuk mengabil barang-barangnya, hai putri Abdul Mutholib."
Kesabaran Shofiyyah
Ibnu Ishaq berkata, "Shofiyyah binti Abdul Mutholib - seperti dikatakan kepadaku - datang untuk melihat Hamzah bin Abdul Mutholib, saudara sekandungnya. Rosululloh SAW bersabda kepada anak Shofiyyah, Az Zubair bin Awwam, "Temui ibumu dan suruh dia pulang agar tidak melihat apa yang terjadi pada saudaranya." Az Zubair bin Al Awwam berkata kepada ibunya, Shofiyyah, "Ibu, sesungguhnya Rosululloh SAW menyuruhmu pulang." Shofiyyah berkata, "Kenapa Rosululloh SAW menyuruhku pulang, padahal aku mendapat informasi bahwa saudaraku dicincang-cincang dan itu terjadi di jalan Alloh?
Tidak ada yang melegakanku selain itu. Aku pasti mengharap pahala Alloh dan pasti bersabar insyaAlloh." Az Zubair bin Al Awwam menghadap Rosululloh SAW dan menceritakan hasil pertemuan dengan ibunya, kemudian beliau bersabda, "Biarkan dia!" Shofiyyah pun datang ke jenasah saudaranya, Hamzah bin Abdul Mutholib, kemudian melihat, menyolatinya, istirja' (mengucapkan inna lillahi wa inna ilahi rojiun), dan memintakan ampun untuknya. Setelah itu Rosululloh SAW memerintahkan pemakaman jenazah Hamzah bin Abdul Mutholib." (Siroh ibnu Hisyam II/62)
Seorang wanita dari Bani Ghiffar.
Ibnu Ishaq mengatakan, bahwa Sulaiman bin Suhaim berkata kepadanya dari Umaiyyah binti Abu Ash Shalt dari seorang wanita dari Bani Ghifar yang berkata, "Aku datang kepada Rosululloh bersama rombongan wanita dari Bani Ghifar dan berkata, "Wahai Rosululloh, kami ingin keluar bersamamu ke tempat yang engkau tuju - ketika beliau sedang berangkat ke Khoibar -, agar kami bisa mengobati orang-orang yang terluka dan membantu kaum muslimin semampu kami." Rosululloh SAW bersabda,"Dengan berkah Alloh, silahkan." Kami pun berangkat bersama beliau.
Ketika itu, aku gadis yang baru menginjak usia dewasa. Rosululloh SAW menempatkanku di kantong pelana kudanya. Demi Alloh beliau turun dari unta hingga waktu subuh dan menghentikan untanya. Aku pun turun dari kantong pelana unta beliau ternyata di dalamnya terdapat darah. Itulah darah haidku yang pertama kali. Aku melompat ke arah unta dan merasa malu.
Ketika beliau melihatku dan melihat darah, beliau bersabda, "apa yang terjadi denganmu, barangkali engkau baru haid?" Aku menjawab, "Ya." Beliau bersabda, "Perbaikilah dirimu, ambillah tempat air, masukkan garam ke dalamnya, besihkan kantong pelana unta yang terkena darah dengan air tersebut, kemudian kembalilah ke kendaraanmu." Ketika Rosululloh SAW berhasil menaklukkan Khoibar, beliau memberi kami sedikit dari harta fay'I, mengambil kalung yang kalian lihat dileherku ini, memberikannya kepadaku, dan memasangkannya ke leherku. Demi Alloh kalung ini tidak berpisah denganku selama-lamanya." (Siroh Ibnu Hisyam II/311).
Seorang wanita dari Bani Dinar.
Ibnu Ishaq berkata, "Abdul Wahid bin Abu Aun berkata kepadaku dari Ismail bin Muhammad bin Sa'ad bin Abu Waqqosh yang berkata, "Rosululloh SAW berjalan melewati seorang wanita Bani Dinar yang kehilangan suami, saudara dan ayahnya di perang Uhud. Ketika kesyahidan ketiganya disampaikan kepadanya, ia berkata, "Bagaimana dengan kabar Rosululloh SAW?" Para sahabat berkata. "Beliau baik-baik saja, hai ibu si Fulan. Beliau alhamdulillah seperti yang engkau inginkan." Wanita dari Bani Dinar tersebut berkata, "Perlihatkan Rosululloh SAW agar aku bisa melihat beliau!" wanita tersebut pun dibawa kepada Rosululloh SAW. Sesudah melihatnya, ia berkata, "Semua musibah sesudahmu itu kecil tidak ada artinya.".
(Siroh Ibnu Hisyam II/65).
Seorang wanita kalangan bani Abdud Daar ketika sampai kepadanya kabar kesyahidan suaminya dan saudaranya serta bapaknya, lalu dia berkata: "Apa yang terjadi dengan Rosululloh SAW?" Mereka berkata: "Dia baik-baik saja". Wanita tersebut berkata: "Setiap musibah selain pada dirimu wahai Rosululloh SAW adalah kecil" artinya "remeh dan sepele".
Rubai' binti Muawwidz
Telah disebutkan di dalam hadits shohih dari Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh Al Bukhori dari Rubai' binti Muawwidz ra dia berkata: "Kami berperang bersama Nabi SAW, kami memberi minum para prajurit dan membantu mereka, mengembalikan yang terluka dan yang terbunuh ke Madinah".

Asma' binti Abu Bakar
Ibnu Ishaq berkata, "Tak ketinggalan, Asma binti Abu Bakr rodliyallohu 'anha. juga mengirim makanan yang dibutuhkan oleh keduanya di waktu sore. Asma berkata, `Ketika Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam keluar bersama Abu Bakar, kami didatangi oleh beberapa orang Quraisy, di antara mereka ada Abu Jahal bin Hisyam, mereka berdiri di depan pintu rumah Abu Bakar, maka aku keluar menemui mereka. Mereka berkata, "Di mana ayahmu, hai putri Abu Bakar?" aku katakan, "Demi Alloh saya tidak tahu di mana ayahku?" Asma melanjutkan, `Lalu Abu Jahal mengangkat tangannya --- padahal dia adalah orang yang jahat lagi bengis --- lantas ia tampar pipiku hingga anting-antingku terlempar, baru kemudian mereka pergi.
Ibnu Ishaq berkata, telah menceritakan kepadaku Yahya bin Abbad bin `Abdulloh bin Zubair bahwa ayahnya bercerita tentang neneknya, Asma, ia berkata: "Tatkala Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam keluar bersama Abu Bakar, Abu Bakar membawa seluruh hartanya yang berjumlah lima ribu atau enam ribu dirham, ia pergi dengan membawa semua harta tadi.
Asma melanjutkan, "Kemudian kakekku, Abu Quhafah masuk menemui kami, saat itu beliau sudah buta, ia mengatakan, `Demi Alloh, sungguh aku melihat Abu Bakar telah membuat kalian sedih dengan harta dan diri yang ia bawa." Aku menimpali, "Sama sekali tidak wahai Abah! Beliau justeru telah meninggalkan kebaikan yang banyak bagi kita." Asma berkata lagi, "Kemudian aku mengambil banyak batu lalu kutaruh di dalam sebuah kantong di dalam rumah yang biasa ayahku menaruh hartanya, kemudian aku letakkan kain di atasnya dan kutarik tangan kakekku, aku katakan, "Hai abah, letakkan tanganmu di atas harta ini."
Asma melanjutkan, "Maka iapun meletakkan tangannya di atasnya lalu berkata, "Tidak apa-apa, kalau ia meninggalkan harta seperti ini buat kalian, berarti ia telah berbuat baik dan ini cukup bagi kalian." Padahal, demi Alloh, ayahku tidak meninggalkan apa-apa buat kami, tapi saya hanya ingin menenangkan orang tua ini.
'Aisyah berkata: Dan kami mempersiapkan keduanya dengan persiapan yang paling cepat, dan kami letakkan rangsum makanan untuk keduanya di dalam sebuah kantong kulit. Lalu Asma' binti Abi Bakar memotong ikat pinggangnya kemudian ia ikat kantong kulit tersebut dengannya. Lalu Asma' bin ti Abi Bakar memotong ikat penggangnya lagi untuk ia jadikan tali pada mulut geriba (tempat air / susu yang terbuat dari kulit). Oleh karena itulah Asma' binti Abi Bakar dijuluki dengan Dzatun Nithoqoin (yang memiliki dua ikat pinggang).

Mahasiswi Lelang Keperawanan Untuk Biaya S2: Bukti Rusaknya Moral Akibat Ideologi Sekuler-Kapitalis


Image 















Dakwahkampus.com-Seorang mahasiswi Amerika, Natalie Dylan (22 tahun), melelangkan keperawanannya sejak September 2008 dengan alasan membiayai kuliah S2-nya. Hingga saat ini harga penawaran keperawanan Dylan menyentuh angka 3.8 juta dolar (Rp 41.8 miliar) – sumber (www.hedleyonline.com). Harga penawaran tersebut terus meningkat sejak pembukaan September lalu senilai USD 243.000.

Belasan ribu orang telah mendaftar untuk bersetubuh dengan gadis California ini. Natalie Dylan merupakan sarjana lulusan Sacramento State dan melanjutkan studi program S2-nya, Terapi Keluarga dan Pernikahan. (http://nusantaranews.wordpress.com).
Natalie Dylan membantah lelang tersebut merendahkan diri sendiri. Dylan mengemukakan lelang itu dia selenggarakan setelah kakaknya, Avia, (23), membiayai kuliah dengan bekerja selama tiga pekan sebagai pelacur.

Menurut Nylan, ada berbagai jenis pria yang memberikan penawaran. Ada yang “aneh”, “yang menggambar secara jelas apa yang ingin mereka lakukan” dan “banyak penawaran yang sopan dari pengusaha kaya.”. Dylan mengatakan dia siap melakukan uji medis jika ada yang meragukan keperawanannya.

“Ada beberapa pria yang jelas-jelas ingin mencari kekasih tetapi saya jelaskan kepada mereka bahwa ini cuma tawaran untuk hubungan semalam saja.”
“Saya tahu banyak orang akan mengutuk saya karena ini tabu, tapi itu tidak masalah buat saya.”
“Kuliahku benar-benar otentik karena itu saya melelang keperawanan tapi saya tidak menjual diri dan saya tidak mengambil untung apapun dari hal ini.”
“Saya kira saya maupun orang yang mendapat keperawanan saya akan mendapat manfaat besar dari transaksi ini.”
Lalu dia mengatakan “Aneh juga kaum pria mau membayar sangat tinggi untuk keperawanan padahal hal itu sekarang tidak lagi terlalu punya nilai.”

INDONESIA

Jika pelelangan ini terjadi di Indonesia, tentu akan langsung ditindak oleh aparat kepolisian. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa hal-hal sejenis marak terjadi dikalangan generasi muda di Indonesia. Sebut saja pada Desember 2008 silam terungkap 20 siswi SMP di Tambora-Jakarta menjadi penjaja seks dengan harga keperawanan 2 juta rupiah. Remaja SMP ini rela menggadaikan keperawanannya demi HP, alat elektronik dan pakaian mewah.

Dari informasi di atas, wawasan kita terhadap warga Amerika bertambah luas. Amerika yang dikenal ‘raja ekonomi’ dengan sistem liberalisme ekonomi telah dan sedang menghadapi berbagai masalah, baik dari ekonomi [resesi], politik internasional [kesalahan perang Irak], HAM [Irak, penjara Guantanamo], hingga moralitas [perilaku konsumtif dan seks bebas dikalangan remaja].

Di sisi lain, pernyataan Natalie “Aneh juga kaum pria mau membayar sangat tinggi untuk keperawanan padahal hal itu sekarang tidak lagi terlalu punya nilai.” menarik. Memang benar bahwa saat ini makna keperawanan seorang remaja /gadis Amerika tidak begitu berarti. Hampir sebagian besar remaja AS melakukan seks bebas dikala remaja [usia 14-19 tahun]. Dan tidak sedikit, mereka hamil lalu melakukan aborsi.

Fenomena yang terjadi pada remaja Amerika, rupanya kini melanda luas di Indonesia. Dari berbagai data yang dikemukan oleh Komnas Perlindungan Anak, menunjukkan sebagian remaja Indonesia memiliki sikap yang tidak jauh berbeda dengan remaja Amerika. Remaja-remaja kita saat ini sudah begitu mudah melepaskan keperawanan di kala SMP dengan sesama temannya. Dan yang paling ironis, tidak sedikit dari mereka menjadi ‘PSK cilik’. (http://nusantaranews.wordpress.com).

APA AKAR MASALAH DAN SOLUSI
Kepuasan terhadap seks yang tidak ada habis-habisnya akan menyebabkan gangguan sosial terhadap pelaku juga terhadap masyarakat secara umum. Masalah ini akan merembet kepada seks bebas, aborsi, homo, lesbian, biseks. Dimana semua itu adalah perilaku-perilaku yang tidak bisa diterima untuk manusia yang diberi kelebihan akal dibanding binatang.

Kalau perilaku-perilaku ini terus dibiarkan, akan menyebabkan dan memunculkan masyarakat yang sakit. Bahkan lebih jauh akan memusnahkan manusia itu sendiri, ketika aborsi, homo, lesbian sudah menjadi sesuatu yang wajar. Manusia pasti bertindak sesuai dengan persepsinya, sesuai dengan pemikirannya. Hanya pemikiran-pemikiran seperti binatang yang kemudian melahirkan tindakan-tindakan binatang.

Pemikiran yang membenarkan hal-hal diatas salah satunya adalah sekular-kapitalis sebagaimana Amerika telah melakukannya bukan hanya dalam tataran ekonomi Negara tetapi juga politik dan kemudian merambah kepada system pergaulan masyarakatnya. Mereka sudah tidak perduli dengan peraturan agama yang melarang hal-hal tersebut. Karena, dalam sekularisme meniscayakan pemisahan antara agama dengan kehidupan dan peraturan kehidupan termasuk tindak-tanduk manusianya diserahkan kepada masing-masing individu. Negara hanya berperan memfasilitasi agar keinginan masing-masing rakyatnya ini bisa berjalan.

Ide HAM yang muncul dari rahim secular-kapitalis ini, yang menyatakan kebebasan dalam beragama, berpendapat, berserikat dan berekspresi meniscayakan semua ini ada di dalam masyarakat tersebut. Maka, tidak bisa tidak, Pemerintah Indonesia dan masyarakatnya, agar bisa terlindung dari semua ini harus mencampakkan ide HAM dan juga induknya yaitu ideologi sekular-kapitalisme.

Agar adik kita selamat, agar kakak kita selamat, agar anak kita selamat, agar orang tua kita selamat, agar saudara-saudara kita selamat dan agar masyarakat dan bangsa kita selamat mari kita campakkan dan hancurkan ideologi ini dari bumi ini. Apakah anda menunggu mereka yang tersayang menjadi korban, tentu tidak. Mari bergerak sekarang juga. Kita ganti sistem ini menjadi sistem yang menyelamatkan dan mensejahterakan mereka.

Sistem itu adalah sistem islam. Sebuah sistem yang akan mencegah seks bebas, homo, lesbian dan penyakit lainnya yang serupa. Yang akan memuliakan wanita di hadapan pria dan memuliakan pria di hadapan wanita.

Kado Cinta Buat Muslimah: Peran Ibu Dalam Kancah Kehidupan



Image 









Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia...

Bulan Desember tampaknya begitu istimewa buat sosok seorang Ibu. Betapa tidak, ada satu moment yang ditetapkan sebagai hari besar untuknya yaitu Hari Ibu, yang diperingati setiap 22 Desember. Nah, biar sobat muslim semua pada tau sejarahnya kenapa ada hari ibu, ini nih kita kasih bocorannya.
Sejarah Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, di gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto. Dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).

Peristiwa itu dianggap sebagai salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah se-Nusantara berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah persatuan perempuan Nusantara; pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan; pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa; perdagangan anak-anak dan kaum perempuan; perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya. Tanpa diwarnai gembar-gemborkesetaraan gender, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa.

Penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Misi diperingatinya Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Kini, Hari Ibu di Indonesia diperingati untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu, memuji keibuan para ibu. Berbagai kegiatan pada peringatan itu merupakan kado istimewa, penyuntingan bunga, pesta kejutan bagi para ibu, aneka lomba masak dan berkebaya, atau membebaskan para ibu dari beban kegiatan domestik sehari-hari.

Kalo kita telusuri lebih lanjut, Hari Ibu ternyata tidak hanya diperingati di Indonesia saja. Negara-negara lain pun turut memperingatinya, dengan nama Mother’s Day, yang mempunyai latar belakang berbeda pula. 

Peringatan Mother’s Day di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, yang mendapat pengaruh dari kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani Kuno. Maka, di negara-negara tersebut, Mother’s Day diperingati pada bulan Maret.

Di Amerika Serikat dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, peringatan Mother’s Day jatuh pada hari Minggu kedua bulan Mei, karena pada tanggal itu pada tahun 1870 aktivis sosial Julia Ward Howe mencanangkan pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara.

Terlepas dari sejarah adanya Hari Ibu, tentunya sebagai seorang anak kita diwajibkan untuk berbakti kepadanya. Tul ga?.

Nasib Kaum Ibu

Sobat Muslim, masih ingat dengan kasus Prita Mulyasari? Terali besi penjara sempat memisahkan Prita Mulyasari dengan dua buah hatinya yang masih balita selama tiga pekan. Seorang ibu yang mencari keadilan atas tindakan medis yag dinilainya tidak memuaskan.

Di sisi lain, Bu Minah yang berjuang demi kelangsungan hidupnya harus menanggung malu dicap sebagai pencuri, hanya karena mengambil tiga biji coklat senilai Rp. 2000. Perempuan lugu ini jelas tak menyangka bakal berurusan dengan pihak berwajib demi mendapatkan keadilan.

Dua contoh kasus ini menjadi topik hangat di berita TV dan  media cetak beberapa bulan terakhir tahun ini. Padahal kalo digali lebih mendalam, dua kasus ini hanyalah segelintir persoalan yang melanda kaum Ibu. Betapa untuk mendapatkan jaminan hak-haknya begitu sulit. Masih banyak Ibu-Ibu lain di belahan bumi pertiwi, dan bahkan di dunia ini yang lebih menderita dari mereka. Ya, nasib kaum Ibu memang tak juga membaik. Berbagai problem berserakan mendera kaum hawa ini. Seperti tingginya ancaman kematian karena berbagai penyakit mematikan, perceraian, kekerasan terhadap para Ibu, terjepit masalah ekonomi keluarga lantaran nafkah yang tak mencukupi, mahalnya layanan kesehatan bagi kaum Ibu, dan sederet problema lainnya.

Hari Ibu 22 Desember sepertinya hanya dijadikan sebagai peringatan seremonial saja. Misalnya, dengan menggelar panggung hiburan, acara makan-makan dan memberi penghargaan kepada Ibu-Ibu tertentu yang dianggap berprestasi.

Penguasa negeri ini pun tak lupa berpidato mengingatkan akan pentingnya peran kaum Ibu. Alih-alih memberikan solusi atas berbagai problem yang menimpa mereka, di akhir tahun dan menjelang tahun baru, biasanya kado pahit yang selalu diterima kaum Ibu. Seperti kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok alias sembako, kenaikan tarif dasar listrik, BBM, gas, dll. Kebijakan yang justru membuat para Ibu pusing tujuh keliling.

Pentingnya Ibu

Menjadi Ibu adalah kodrat seorang perempuan namun pilihan. Karena tidak semua perempuan memilih untuk menjadi seorang Ibu. Menjadi seorang Ibu adalah amanah yang sangat besar. Karena di tangannya-lah diberikan tanggung jawab mendidik anak yang pertama dan utama sekaligus pengatur rumah tangga. Sobat Muslim siap?!.

Islam sangat menjunjung tinggi posisi Ibu. Abu Hurairah meriwayatkan, telah datang seseorang kepada Nabi dan bertanya: “Siapakah yang berhak aku layani sebaik-baiknya?” Jawab Nabi: “Ibumu”. “Kemudian siapa lagi?” Nabi menjawab: ”Ibumu”. Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Kata Nabi: “Ibumu”. “Lalu siapa?” “Ayahmu”. (HR. Bukhari Muslim).

Begitulah, betapa pentingnya sosok seorang Ibu. Bagi seorang anak, Ibu berjasa besar dalam mengantarkannya menjadi sosok berdaya. Berkat Ibulah seorang anak tumbuh sehat, cerdas dan bertaqwa. Ibulah tokoh utama dibalik kesuksesan seorang anak. Sungguh sangat sombong bila Ibu diabaikan.

Bagi masyarakat, bukan hanya sebatas sebagai pelahir keturunan. Lebih dari itu, Ibu adalah peletak dasar lahirnya generasi penerus bangsa sebagai pewaris peradaban. Di tangan Ibulah para pemimpin masa depan umat lahir. Apa jadinya bila untuk menjalankan misi sebagai pelahir generasi ini, Ibu menghadapi berbagai persoalan dan kesulitan hidup?

Memang, menjadi Ibu bukanlah perkara mudah. Bukan sekedar menjalankan tugas kodrati mengandung dan melahirkan. Seorang Ibu harus mampu melewati masa-masa kritis dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Masa menjelang anak baligh, saat dimana si buah hati harus siap menanggung tugas Ilahi.

Sementara fakta menunjukkan, mendidik anak saat ini tidaklah gampang. Pengaruh buruk lingkungan begitu mendominasi. Betapa stresnya ibu-ibu yang anaknya hobi tawuran, dugem, kecanduan TV/games, terjerumus narkoba, gaul bebas, dll. Kita tidak bisa menyalahkan Ibu 100 persen, karena Ibu hidup dalam sistem.

Munculnya persoalan anak tersebut, juga terkait dengan sistem-sistem lain. Misal, penerapan sistem pendidikan, lingkungan pergaulan, ekonomi, politik, dll. Lho kok bisa? Ya, bisa saja. Ibu sudah mati-matian mendidik anaknya dengan benar, tapi karena lingkungan pergaulan memang rusak, anak menjadi terbawa arus. Kisah Ibu-Ibu yang membanting tulang mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga menjadi cerminan penerapan ekonomi kapitalisme di negeri ini. Eksploitasi perempuan dengan dalih kebebasan berekspresi atau kemandirian ekonomi menjerumuskan kaum Ibu ke dalam lubang kenistaan dengan mencerabutnya dari rumah, memisahkannya dari anak-anak, lantas membuka auratnya dan memamerkan kecantikannya di ruang publik. Hiii...pada ga mau kan?!

I Love U Mom...

Sobat Muslim, nama Ibu, seolah tak akan pernah henti disenandungkan lisan-lisan manusia. Karena seluruh manusia bermuara darinya. Banyak nama, namun satu makna; CINTA. Ia adalah muara cinta manusia di dunia. Tak heran jika sosok yang bernama Ibu ini dimuliakan oleh Allah SWT dan RasulNya. Bukan karena sosoknya, rupanya, atau yang lainnya. Namun karena kelembutan, cinta dan pengorbanannya.

Tidak cukup sampai di situ, sosok yang bernama Ibu ini juga dimuliakan Allah SWT. Allah SWT telah meninggikan derajatnya melebihi makhluk-makhluk lain yang ada di dunia ini. Ia telah dijadikan kunci pembuka pintu ampunan, ridha dan cintaNya. Tak heran jika Allah SWT memberinya keutamaan di antara keutamaan manusi,. "Surga di bawah telapak kaki Ibu.”

Keberadaan kita di dunia adalah karena keberadaannya. Ialah pengantar hidup kita dari Sang Pencipta. Ialah tangan-tangan ikhlas dari yang Maha Ikhlas. Ialah kaki-khaki ringan dari yang Maha Ringan. Cinta, pengorbanan, perjuangan, keikhlasan, kehangatan, rindu bahkan khawatir dan ketakutan telah bergumul menjadi jalinan penuh kesyahduannya. Itulah Ibu.

Sobat Muslim, sudah terlalu banyak mungkin cerita, ceramah atau tulisan yang mengupas bagaimana jasa-jasa sosok yang kita beri nama Ibu ini mengisi relung hati dan pikiran kita. Mulai dari saat kita berada dalam rahimnya. Saat melahirkan. Saat dibesarkan. Saat kita sakit. Saat kita terjatuh. Saat kita mandi. Saat kita lapar. Saat kita terkantuk. Saat kita sedih. Saat kita bahagia. Saat kita sekolah. Saat kita menangis. Saat kita tertawa. Saat kita kuliah. Saat kita bekerja. Bahkan saat kita menikah dan kita punya anak. Ia selalu menyertai kita. Ia tak henti-hentinya menjadi titik perhatiannya. Karena kita baginya adalah Cinta.

Tak cukup rasanya untuk mengurai tali-temali penuh harap ini. Tak cukup lembar-lembar yang ada dalam buku-buku kehidupan kita untuk menuangkannya. Tak cukup pena-pena yang ada untuk menuliskannya. Tak cukup bait-bait kalimat untuk menggambarkannya. Satu hal yang lebih penting dari semua itu adalah jawaban atas pertanyaan, "Sudahkah kita berbakti kepadanya? Sudahkan kita membahagiakannya? Sudahkah kita memberi yang terbaik untuknya?”.

Inilah yang selalu harus kita ingat dan selalu ada di hati kita. Inilah pendorong mengapa diri kita harus bangkit. Inilah pendorong mengapa diri kita harus berhasil. Inilah pendorong mengapa diri kita harus menjadi yang terbaik. Karena ia bukan beban. Tapi ia adalah pembangkit semangat, pembangkit cinta. Karena diri kita sudah saatnya memberi. Karena diri kita sudah saatnya mempersembahkan cinta terbaik untuknya.

Balasan apa yang akan kita berikan kepada Ibu? Apakah bisa kita menggantikannya dengan uang? Tentu saja tidak bisa, karena bukan itu yang Ibu kita harapkan. Ibu pun membutuhkan kasih sayang dari kita, dengan berbakti juga berbuat baik kepadanya, pasti akan membuat ia menjadi bangga kepada kita. Kita pun tidak boleh lupa untuk selalu mendoakannya, karena itulah ciri anak yang sholeh. Doa kita kepada Ibu akan selalu mengalir walau Ibu telah meninggalkan kita, semoga kita dijadikan sebagai anak yang bisa mengantarkan Ibu dan Ayah kita ke Syurga.

Mulai saat ini, lakukanlah yang terbaik untuknya. Berilah yang terbaik yang bisa kita berikan untuknya. Persembahkanlah yang terbaik yang bisa kita persembahkan untuknya. Mulai detik ini. Penuhilah setiap doa-doa kita dengan nama-namanya. Penuhilah setiap rasa dengan cintanya. Penuhilah setiap langkah dengan pendorongnya.

Sekarang teleponlah ia, smslah ia, suratilah ia, jika ia masih ada. Mintalah maaf kepadanya, mintalah ridha darinya. Kabarkankah kabar gembira kepadanya. Karena bahagia kita bahagianya. Duka kita juga duka baginya. Kabarkanlah bahwa Sobat muslim sedang bahagia, sedang rindu kepadanya, sedang ingin memeluknya, sedang ingin mencium tangannya. Sampaikanlah bahwa sobat muslim menyayanginya, "Ibu...Aku sayang Ibu..." Sampaikanlah kepadanya bahwa  sobat muslim mencintainya, " I love u Mom...!”

Mengapa? Karena kita tidak bisa melakukannya ketika ia sudah tiada!

Sobat Muslim, sesungguhnya, penderitaan kaum Ibu tak bisa serta merta terangkat hanya dengan peringatan Hari Ibu yang sifatnya seremonial sesaat. Perlu tindakan konkrit guna mengentaskan masalah kaum Ibu dan memberikan hak-haknya secara adil. Hal itu hanya bisa dilakukan jika sistem yang diterapkan adalah aturan hidup buatan Allah SWT, Maha Besar yang paling tau hakikat penciptaan manusia dan kehidupan, termasuk kaum Ibu. Wallahua’alam

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More