Friday, December 23, 2011

Fenomena V-Day



Image 
















Memasuki Februari, nuansa cinta mulai bertebaran di mana-mana. Di berbagai tempat seperti mall, supermarket, juga media massa, baik media cetak maupun elektronik turut menebarkan kemeriahan menyambut hari yang diperingati tanggal 14 Februari ini. Ya, Valentine’s Day atau disingkat V-Day, telah menjadi trend di kalangan remaja.

Kalau saja remaja melihat sejarah dinobatkannya bulan februari sebagai bulan penuh cinta, mungkin akan bisa lebih cerdas dan kritis sebelum taklid/ikut-ikutan merayakan kebudayaan barat ini. Kalau kita tengok sejarah, ada banyak versi tentang asal muasal V-Day.

Salah satu versi menyatakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan daripada orang yang menikah. Kaisar melarang para pemuda untuk menikah, namun St. Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga ia ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M. Sebelum kematiannya ada seorang gadis anak sipir penjara yang mengobrol dengannya berjam-jam. Disaat menjelang kematiannya dia menuliskan catatan kecil “Love from your Valentine”.

Kemudian pada tahun 469 Paus Gelasius menetapkan 14 Februari sebagai tanda penghormatan buat St. Valentine. Lalu 14 Februari dijadikan momen untuk saling bertukar cinta, mengirim puisi, dan hadiah seperti bunga, coklat, boneka dan lain-lain.

Selain itu perayaan bulan cinta ini biasanya ditandai dengan acara kumpul-kumpul, atau pesta dansa. Awalnya perayaan ini semacam upacara keagamaan, mengagungkan St. Valentine yang mereka anggap sebagai simbol ketabahan, keberanian, dan kepasrahan dalam menghadapi cobaan hidup, jadi Valentine diperingati oleh pengikutnya sebagai upacara keagamaan.

Namun perayaan ini beralih, bukan lagi upacara keagamaan, sejak abad 16 M upacara keagamaan itu dimulai berangsur-angsur hilang. Dengan perkembangan zaman, makna Valentine terus bergeser jauh dari arti yang sebenarnya. Faktanya, masyarakat terutama yang memperingati V-Day, tidak mengerti asal-usul V-Day. Yang mereka pahami, V-Day adalah ajang tukar kado, ajang kirim kartu ucapan “cinta”. Bahkan Prof. Charles Goerge menyarankan para remaja untuk melampiaskan hari Valentine tanpa memandang lagi mahram atau bukan, istrinya atau bukan, kakaknya sendiri pun mungkin juga.

Misalnya saja perayaan Lupercalia, yang merupakan upacara persucian di masa romawi kuno (13-18 Feb). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk Dewi Cinta (Queen of Feverish Love) Juan Februata. Tanggal 14 Februari, para pemuda mengundi nama-nama gadis di dalam kotak, lalu setiap pemuda mengambil nama secara random dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk jadi obyek hiburan dan have fun. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan Dewa Lupercalia dari gangguan Srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut dengan anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.

Tentu pandangan ini sangat berbeda dengan Pandangan Islam. Dalam Islam, Valentine’s Day adalah budaya barat, yang justru menjadikan pergaulan pria dan wanita semakin buruk. Bagaimana tidak, bila di hari itu kemaksiatan seolah dilegalkan, yang katanya cinta, diidentifikasi dengan nafsu seksual. Sungguh miris, Indonesia yang mayoritas penduduknya Islam mudah dicekoki pemikiran-pemikiran budaya barat yang menyesatkan.

Saat ini, di Amerika misalnya pada hari Valentine orang-orang berkumpul mengadakan pesta dansa atau semisal, lantas berpesta seksual. Pernah diadakannya lomba kissing dalam waktu yang amat lama, dan bahkan banyak yang kehilangan virginitasnya di hari itu.

Dan, sasaran empuk di sini yaitu remaja. Mereka tidak lagi menampakkan intelegensinya sebagai generasi cerdas yang kritis, justru dengan bangga lancar menggalakkan momen ini. Sayang sekali teramat minim menemukan generasi penerus yang berkualitas, yang tidak mengambil mentah-mentah budaya yang sama sekali tidak benar. Mayoritas remaja saat ini lepas dari pedomannya Alqur’an, justru yang ada membebek pada gaya hidup hedonis yang diajarkan barat.

Jelas, perayaan hari valentine tidak ada dasarnya, apalagi menurut Islam. Jika alasan perayaannya adalah pengesahan terhadap hari berkasih sayang, mengapa harus dirayakan tanggal 14 Februari dan sehari saja. Padahal, menebarkan cinta (pada sesama) dianjurkan kapan saja (tentunya sesuai Syariat).

Sudah sepatutnya kita tidak lagi terjerat dengan kebiasaan orang-orang barat. Karena, Rasulullah SAW telah bersabda:

Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia menjadi bagian kaum tersebut”. (HR. Abu Daud)

Dalam hal ini, kesadaran bukan hanya dituntut pada individunya, namun juga masyarakat dan negara. Apabila negara dengan tegas menolak budaya apapun yang tidak baik dan melenceng dari ajaran agama (Islam), maka masyarakat yang sebagai kontrol sosial juga akan menciptakan suasana-suasana yang baik dan tidak keluar dari syariat. Tentu saja, setiap individu nantinya akan memiliki kesadaran berkehidupan islami jika suasana yang tercipta adalah suasana islam.

Ini bisa terwujud, jika negara menerapkan syariat islam secara kaffah/sempurna. Apabila hukum negara adalah hukum Islam, yang bersumber dari Al-Qur’an, hukum yang telah diciptakan oleh Allah untuk mengatur hidup manusia, maka tidak hanya pergaulan kita yang terjaga, tapi juga politik, sosial budaya, pendidikan, pertahanan, keamanan, seluruh aspek kehidupan akan terjaga kemurniannya. Semoga kita tidak termasuk golongan orang-orang yang taklid (ikut-ikutan) kepada selain hukum Islam. Sudah saatnya kembali kepada Islam, kembali kepada Syariat yang diturunkan Allah sebagai pengatur hidup manusia. Wallahu’alam. (CRP)

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More