Persepsi negatif tentang Islam dan “Dunia Timur”, kadang-kadang menggiring feminis Barat untuk berasumsi jelek tentang wanita dalam Islam. Ada asumsi, hak-hak wanita dalam Islam tertindas. Konon, penyebabnya utamanya adalah ajaran Islam itu sendiri, Al-Qur’an.
Benarkah al-Qur’an menindas hak-hak wanita? Terlebih dahulu, kita harus melihat bagaimana posisi wanita sebelum datangnya Islam.
Wanita Sebelum Islam
Sebelum Islam yang dimaksud di sini adalah masa jahiliyah yang dialami bangsa Arab secara khusus dan dialami penghuni negeri lain secara umum. Ketika itu manusia dalam keadaan fatrah (kosong) dari para rasul. Jalan-jalan kehidupan rusak. Allah Subhaanahu Wata'ala telah melihat mereka sebagaimana yang terdapat dalam hadits, maka Allah Subhaanahu Wata'ala murka kepada mereka, Arab maupun non Arab, kecuali segelintir dari ahlul kitab.
"Dan bila al mau’udah ditanya, akibat dosa apakah ia dibunuh?" (QS. At-Takwir: 8-9).
Al Mau’udah artinya anak wanita yang dikubur hidup-hidup. Kalau pun dia bisa lolos dari penguburan itu, dia hidup dalam keadaan hina. Dia tidak dapat warisan dari kerabatnya, betapa pun banyaknya hartanya dan semelarat apa pun kondisi wanita itu. Masyarakat pada masa itu hanya memberikan warisan pada anak pria. Bahkan ironisnya, wanita itu sendiri malah dijadikan barang warisan yang berpindah tangan.
Banyak wanita yang hidup di bawah naungan seorang suami yang memiliki istri tak terhingga, tanpa merasa peduli terhadap apa yang dialami oleh para wanita itu. Itu semua akibat kejahatan dan kesewenang-wenangan saat itu.
Inilah kenyataan yang terjadi pada bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Kenyataan yang sama juga terdapat pada bangsa lain selain Arab. Tengoklah perlakuan bangsa Yunani dan Romawi yang dikatakan memiliki “peradaban yang tinggi”. Mereka menempatkan wanita tidak lebih dari sekadar barang murahan yang bebas untuk diperjualbelikan di pasaran. Wanita di sisi mereka tidak memiliki kemerdekaan dan kedudukan, tidak pula diberi hak waris.
Di Hindustan, wanita dianggap jelek, sepadan dengan kematian, neraka, racun dan api. Bila seorang suami meninggal dan jenazahnya diperabukan, maka si istri yang jelas-jelas masih hidup harus ikut dibakar bersama jenazah suaminya.
Bagi bangsa Yahudi, wanita adalah makhluk terlaknat. Sebabnyalah Nabi Adam Alaihissalam melanggar larangan Allah Subhaanahu Wata'ala hingga dikeluarkan dari surga. Sebagian golongan Yahudi menganggap ayah si wanita berhak memperjualbelikan putrinya.
Wanita juga dihinakan oleh para pemeluk agama Nasrani. Sekitar abad ke-5 Masehi, para pemuka agama ini berkumpul untuk membahas masalah wanita; apakah wanita itu sekadar tubuh tanpa ruh di dalamnya, ataukah memiliki ruh sebagaimana lelaki? Keputusan akhir, mereka menyatakan wanita itu tidak memiliki ruh yang selamat dari azab neraka Jahannam, kecuali Maryam ibu ‘Isa Alaihissalam.
Beginilah Al Qur’an Memposisikan Wanita
Ketika Islam datang, ia mengangkat derajat wanita dan mengembalikannya kepada keadaannya sebagai manusia yang layak. Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman (yang artinya), "Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian menjadi pria dan wanita." (QS. Al Hujurat:13).
Di sini Allah Subhaanahu Wata'ala menyebutkan bahwa wanita adalah sekutu pria dalam status kemanusiaan.
Wanita juga bersekutu dengan pria dalam dosa dan pahala karena amal. Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman (yang artinya), "Siapa yang beramal shalih dari kalangan pria dan wanita dan dia beriman, maka pasti Kami akan memberinya kehidupan yang baik dan akan Kami berikan balasan dengan sebaik-baiknya apa yang mereka amalkan." (QS. An Nahl: 97).
Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman (yang artinya), "Agar Allah mengazab pria yang munafik dan wanita yang munafik, pria yang musyrik dan wanita yang musyrik." (QS. Al Ahzab: 73).
Allah Subhaanahu Wata'ala juga mengharamkan dianggapnya wanita termasuk barang yang diwarisi, dalam firman-Nya, artinya, "Wahai orang-orang yang beriman tidak halal kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa." (QS. An Nisa: 19).
Islam telah menjamin kemerdekaan kaum wanita dalam kepribadiannya dan menjadikan mereka sebagai pewaris, bukan barang yang diwarisi. Bahkan Allah Subhaanahu Wata'ala memberikan kepadanya hak mendapatkan warisan harta kerabatnya, firman Allah Subhaanahu Wata'ala, artinya:
"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu bapaknya dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan." (QS. An-Nisa: 7).
"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang lelaki sama bagian dua anak perempuan; jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagian mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka dia memperoleh separuh harta." (QS. An-Nisa: 11).
Hingga akhir yang disebutkan dalam ayat ini yang berkaitan dengan wanita apakah dia sebagai ibu, anak wanita, saudara, atau istri.
Mengapa wanita memperoleh bagian harta hanya setengah dari lelaki? Pembagian seperti ini ditetapkan karena seorang lelaki memiliki kebutuhan untuk memberi nafkah, memikul beban, mencari rizki dan menanggung kesulitan, sehingga pantas sekali ia menerima bagian warisan dua kali lipat dari yang diperoleh wanita.
Dalam hal pernikahan, Allah membatasi pria dengan empat orang istri paling banyaknya. Dan itu dengan syarat mampu berbuat adil di antara istri. Maka Allah Subhaanahu Wata'ala juga wajibkan untuk menggauli mereka dengan baik. Allah Subhaanahu Wata'ala katakan (yang artinya), "Dan gaulilah mereka dengan baik." (QS. An Nisa: 19).
Juga Allah Subhaanahu Wata'ala berikan mahar sebagai hak mereka dan memerintahkan agar mahar mereka diberikan secara penuh, kecuali kalau dia merelakannya. Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman (yang artinya):
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." (QS. An-Nisa: 4).
Dan Allah jadikan mereka pengurus di rumah suaminya, sebagai pengurus anak-anaknya. Rasulullah Shallallahu bersabda (yang artinya),
"Dan istri sebagai penanggung jawab di rumah suaminya dan dia juga akan ditanya tentang tanggung jawabnya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian pula Allah Subhaanahu Wata'ala juga wajibkan pada suami untuk menafkahi, dan memberikan pakaian kepada mereka dengan layak.
Muslimah Diincar
Musuh-musuh Islam—bahkan musuh kemanusiaan—saat ini dari kalangan orang-orang kafir dan munafiqin yang hatinya berpenyakit, merasa iri dengan kemuliaan yang diperoleh wanita muslimah di dalam Islam. Mereka menginginkan agar wanita bisa dijadikan alat perusak dan jerat untuk menjerat orang-orang yang lemah imannya dan orang yang rendah rasa cemburunya dengan kebaikan, setelah mereka memuaskan nafsunya yang rendah kepada wanita. Seperti yang Allah Subhaanahu Wata'ala firmankan (yang artinya):
"Dan para pengekor syahwat itu ingin kalian cenderung kepada mereka dengan sebenar-benar kecenderungan." (QS. An Nisa: 27).
Dari kalangan kaum muslimin, ada pula yang hatinya berpenyakit. Mereka ingin wanita bisa dijadikan barang dagangan yang rendah harganya untuk ditawarkan kepada para penggila syahwat dan nafsu syaithaniyyah. Sebuah barang dagangan yang "terbuka" di depan mata mereka. Mereka memuaskan diri dengan memelototi keindahan wajah wanita. Lebih parah dari itu, mereka "menyerbunya".
Gambar-gambar wanita seronok di koran-koran dan tabloid-tabloid porno dimuat, telanjang tanpa pakaian. Mereka dijadikan alat pelaris majalah-majalah di pasaran. Sebagian pemilik perusahaan juga menjadikan wanita sebagai alat pelaris dagangan mereka. Mereka letakkan gambar-gambar wanita di produk-produk mereka. Akibatnya, para wanita melalaikan tugas mereka di rumah. Hingga akhirnya suami mereka terpaksa mengambil pembantu wanita yang bukan mahramnya untuk mendidik anak-anak dan mengurus rumah mereka. Lalu terjadilah banyak fitnah dan banyak kejahatan.Wallahul Musta’aan wa ilaihi Al Musytakaa!
0 komentar:
Post a Comment