Nikmatnya Menuntut Ilmu (Bagian 2)
Seseorang yang mempelajari ilmu syar’i akan mendapatkan keutamaan yang
tidak diperoleh oleh orang yang tidak mempelajarinya. Oleh karena itu,
Allah membedakan ‘nilai’ seorang hamba
berdasarkan ilmu. Ada banyak keutamaan yang dapat diperoleh oleh para
penuntut ilmu syar’i, namun penulis akan menguraikan beberapa keutamaan
di antaranya adalah:
Pertama,
Allah Ta’ala akan mengangkat derajatnya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,
… يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَتٍۗ …
Artinya: “… Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara
kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
(Qs. Al-Mujadilah: 11)
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala
mengabarkan bahwa Dia akan mengangkat derajat orang yang berilmu dan
beriman karena mereka berhak mendapatkannya. Huruf al (ال ) dalam kata
al-‘ilm (العلم ) pada ayat di atas menunjukkan ahdiyyah atau
pengkhususan terhadap satu jenis ilmu, bukan menunjukkan jinsiyyah atau
keumuman atas semua jenis ilmu, karena yang mendapatkan hak untuk
dinaikkan derajatnya oleh Allah hanyalah orang yang memiliki ilmu
syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
bukan mencakup pada semua jenis ilmu. [Lihat Bahjatun Nazhirin
(II/462-463) dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/285)]
Disebutkan pula bahwa pernah ada seseorang yang lehernya cacat, sehingga
dia selalu menjadi bahan ejekan orang-orang disekitarnya. Kemudian
ibunya berkata kepadanya, “Hendaklah engkau menuntut ilmu, niscaya Allah
akan mengangkat derajatmu.”
Lalu orang tersebut menuntut ilmu
syar’i sampai dia menjadi seorang yang ‘alim (pandai), sehingga dia
diangkat menjadi Hakim di Mekah selama 20 tahun. Dan jika ada seseorang
yang memiliki perkara duduk dihadapannya, gemetarlah seluruh tubuhnya
sampai dia berdiri. [Lihat Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 26) dan
Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 33)]
Kedua,
Allah Ta’ala menjadikan kebaikan untuknya, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْـرًا يُـفَـقِـهْهُ فِي الدِّيْنِ .
Artinya: “Barang siapa yang dikehendaki kebaikannya oleh Allah, Dia
akan menjadikannya mengerti tentang (urusan) agamanya.” [Hadits shahih,
diriwayatkan oleh Bukhari (no. 71, 3116, 7312), Muslim (no. 1037), Ahmad
(IV/92, 95, 96), Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/122-123,
no. 84), dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu’anhu]
Hadits di atas menyebutkan tentang keutamaan mempelajari ilmu syar’i
dibandingkan ilmu-ilmu lainnya. Dan ini juga menunjukkan bahwa orang
yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya adalah orang yang tidak
dikehendaki kebaikannya oleh Allah. Sebaliknya orang yang dikehendaki
kebaikannya oleh Allah maka Dia memberikannya pemahaman dalam agamanya.
[Lihat Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 49), Bahjatun Nazhirin
(II/463), Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 36) dan Syarah
Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/ 286)]
Imam Sufyan Ats-Tsauri
rahimahullah pernah berkata, “Kebaikan di dunia adalah rizki yang baik
dan ilmu, sedangkan kebaikan di akhirat adalah Surga.” [Lihat Jami’
Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/230) dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga
(hal. 39)]
Ketiga,
orang yang menuntut ilmu syar’i
dan memiliki ilmu syar’i dikecualikan dari laknat Allah, sebagaimana
disebutkan dalam sebuah riwayat,
أَلاَ إِنَّ الدُّنْيَـا مَلْعُوْنَةٌ مَلْعُوْنٌ مَـافِيْـهَـا إِلاَّ ذِكْرُ اللهِ وَمَا وَالاَهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَـلِّـمٌ .
Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu dilaknat dan dilaknat pula
apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan ketaatan
kepada-Nya, seorang ‘alim, dan seorang yang menuntut ilmu.” (Hadits
hasan, diriwayatkan oleh Tirmidzi (no. 2322), Ibnu Majah (no. 4112),
Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (no. 1708), Ibnu Abi ‘Ashim dalam Az-Zuhd
(no. 57), dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/150, no.
135), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Hadits di atas
menyebutkan tentang keutamaan ilmu syar’i, orang-orang yang berilmu, dan
orang-orang yang menuntutnya. Dalam proses menuntut ilmu syar’i,
manusia terbagi menjadi dua, yaitu orang yang ‘alim sebagai pengajar dan
orang yang menuntutnya (pelajar). Keduanya berada di atas jalan yang
lurus dan selamat. [Lihat Bahjatun Nazhirin (I/542-543) dan Syarah
Riyadhush Shalihin Terjemah (II/307)]
Keempat,
orang
yang menuntut ilmu syar’i diibaratkan seperti seorang yang berjihad di
jalan Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda,
مَنْ دَخَـلَ مَـسْجِـدَنَا هَـذَا لِيَتَعَلَّمَ
خَيْرًا أَوْلِيُعَلِّمَهُ كَانَ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيْل اللهِ، وَمَنْ
دَخَـلَهُ لِغَيْرِ ذَلِكَ كَانَ كَالنَّاظِرِ إِلَى مَالَيْسَ لَهُ .
Artinya: “Barang siapa yang memasuki masjid kami ini (masjid Nabawi)
dengan tujuan untuk mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, dia ibarat
seorang yang berjihad di jalan Allah. Dan barang siapa yang memasukinya
dengan tujuan selain itu, dia ibarat orang yang sedang melihat sesuatu
yang bukan miliknya.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad (II/350,
526-527), Ibnu Majah (no. 227), Ibnu Hibban (no. 87-At-Ta’liqat), Ibnu
Abi Syaibah (no. 3306), dan Al-Hakim (I/91), dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu]
Abud Darda radhiyallahu’anhu pernah berkata,
“Barang siapa yang berpendapat bahwa perginya seseorang untuk menuntut
ilmu itu tidak termasuk jihad, sungguh, dia kurang akalnya.” [Lihat
Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 145) dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju
Surga (hal. 45)]
Berjihad dengan hujjah (dalil) dan keterangan
lebih didahulukan dari pada jihad dengan pedang dan tombak. Sebagaimana
Allah Ta’ala pernah memerintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam agar berjihad dengan Al-Qur’an untuk melawan orang-orang kafir,
seperti disebutkan dalam firman-Nya,
فَـلاَ تَطِعِ الْكَـفِـرِيْنَ وَجَـهِـدْ هُمْ بِهِ جِهَـادًا كَبِيْرًا
Artinya: “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan
berjihadlah kepada mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang besar.”
(Qs. Al-Furqan: 52)
Kelima,
orang yang menuntut ilmu
syar’i akan dimudahkan jalannya menuju Surga, dimohonkan ampun oleh
penduduk langit dan bumi, serta dinaungi oleh sayap-sayap para Malaikat.
Sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ سَلَكَ طَرِيْـقًـا يَبْـتَغِي فِيْهِ عِلْمًا سَهَّـلَ اللهُ لَهُ
طَرِيْـقًـا إِلَى الْجَنَّـةِ، وَإِنَّ الْمَـلاَئِـكَةَ لَتَضَعُ
أَجْـنِحَـتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَصْنَعُ، وَإِنَّ
الْعَالِمَ لَيَـسْـتَغْـفِـرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَـا وَاتِ وَمَنْ فِي
الأَرْضِ حَتَّى الْحِـيْتَـانُ فِي الْمَـاءِ .
Artinya: “Barang
siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah memudahkan
jalannya menuju Surga. Sesungguhnya para Malaikat membentangkan sayapnya
untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha atas apa yang mereka
lakukan. Dan sesungguhnya orang yang berilmu benar-benar dimintakan
ampun oleh penghuni langit dan bumi, bahkan oleh ikan-ikan yang berada
di dalam air.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3641),
Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), Ahmad (V/196), Ad-Darimi
(I/98), Ibnu Hibban (88 – Al-Ihsan dan 80 – Al-Mawarid), Al-Baghawi
dalam Syarhus Sunnah (I/275-276, no. 129), Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’
Bayanil ‘Ilmi (I/174 ,no. 173), dan Ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar
(I/429), dari Abud Darda’ radhiyallahu’anhu]
Kalimat “jalan
untuk menuntut ilmu” mengandung dua makna, yaitu: pertama, menempuh
jalan untuk menuntut ilmu dalam artian yang sebenarnya, seperti berjalan
kaki menuju majelis-majelis ilmu. Kedua, menempuh jalan atau cara yang
dapat mengantarkan seseorang untuk memperoleh ilmu syar’i, seperti
membaca, menghapal, menela’ah, dan sebagainya.
Sedangkan
kalimat “Allah memudahkan jalannya menuju Surga” mengandung dua makna
juga, yaitu pertama, Allah akan memudahkan orang yang menuntut ilmu
semata-mata karena mencari keridhaan Allah, mengambil manfaat, dan
mengamalkannya, untuk memasuki Surga-Nya. Dan kedua, Allah akan
memudahkan jalan baginya menuju Surga ketika melewati titian
ash-shirathal mustaqim pada hari Kiamat dan memudahkannya dari berbagai
kengerian pada sebelum dan sesudahnya. [Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam
(II/297, Qawa’id wa Fawa’id minal Arba’in An-Nawawiyyah (hal. 316-317),
dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 8-9)]
Jalan menuju
Surga yang diperuntukkan bagi para penuntut ilmu ini merupakan ganjaran
dari Allah akibat usaha yang pernah ditempuhnya selama di dunia untuk
mencari ilmu yang akan mengantarkannya kepada ridha Rabbnya. Sedangkan
para Malaikat yang membentangkan sayap-sayapnya merupakan suatu bentuk
kerendahan hati, penghormatan, dan pengagungan mereka kepada para
penyandang dan para pencari martabat pewaris kenabian ini.
Sementara permohonan ampun yang dilakukan oleh para penghuni langit dan
bumi untuk orang yang berilmu, disebabkan karena upaya mereka untuk
mengajarkan hak-hak makhluk hidup yang telah diciptakan Allah ‘Azza wa
Jalla. Dan upaya ini tidak mungkin terwujud kecuali dengan ilmu. [Lihat
Bahjatun Nazhirin (II/469-470) dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah
(IV/301-302)]
Keenam,
seorang yang memiliki ilmu dan
mengajarkannya akan tetap mendapatkan pahala atas ilmu yang telah
diajarkannya tersebut selama ilmu itu diamalkan, meskipun dia telah
meninggal dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَـانُ انْـقَـطَـعَ عَـمَلُهُ
إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ، وَعِلْمٌ يُنْـتُفَـعُ بِهِ،
وَوَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُولَهُ .
Artinya: “Apabila seorang
manusia meninggal dunia, amalannya terputus, kecuali tiga hal (yaitu):
sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang
mendo’akannya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631),
Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 38), Ahmad (II/372), Abu Dawud (no.
2880), An-Nasa’i (VI/251), Tirmidzi (no. 1376), Al-Baihaqi (VI/278), dan
Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/103 ,no. 52), dari Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu]
Hadits ini adalah dalil terkuat
tentang keutamaan dan kemuliaan ilmu juga besarnya buah dari ilmu yang
dimiliki seseorang. Karena pahala ilmu yang telah diajarkan kepada orang
lain, akan tetap diterima oleh pemiliknya selama ilmu tersebut
diamalkan oleh orang lain. Meskipun dia telah meninggal dunia dan
seluruh amalannya telah terputus, namun akibat ilmu yang diajarkannya
kepada orang lain membuatnya seolah-olah tetap hidup dan amalnya tidak
terputus. Hal ini selain menjadi kenangan dan sanjungan bagi pemilik
ilmu tersebut, juga menjadi kehidupan kedua baginya, karena dia tetap
merasakan pahala yang mengalir untuknya ketika semua pahala amal
perbuatan telah terputus darinya. [Lihat Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu
(hal. 242) dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 46)]
KEUTAMAAN SEORANG ‘ALIM DIBANDING SEORANG ‘ABID
Seorang yang berilmu (‘alim) memiliki keutamaan yang lebih besar dari
pada seorang ahli ibadah (‘abid). Dan keutamaan yang diperolehnya ini
semata-mata karena ilmu yang dimilikinya. Sebagaimana pernah disabdakan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَـضْلُ الْعِـلْمِ خَيْرٌ مِنْ فَـضْلِ الْعِـبَادَةِ، وَخَيْرُ دِيْنَكُمُ الْوَرَعُ .
Artinya: “Keutamaan ilmu adalah lebih baik dari pada keutamaan ibadah.
Dan sebaik-baik agama kalian adalah ketakwaan.” [Hadits hasan,
diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Ausath (no. 3972) dan Ibnu
‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi (ta’liq hadits no. 96 sebagai
syahid), dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu’anhu]
Salah
seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang juga
menjadi menantunya, yakni ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu pernah
berkata, “Seorang ‘alim mendapat ganjaran pahala yang lebih besar dari
pada orang yang melakukan puasa, shalat, dan berjihad di jalan Allah.”
[Lihat Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 133) dan Menuntut Ilmu Jalan
Menuju Surga (hal. 38)]
Seorang yang berilmu tidak hanya
menjalin hubungan antar dirinya dengan Rabbnya, melainkan dia juga
menjalin hubungan dengan sesamanya melalui ilmunya, yakni dengan cara
menyampaikan ilmu yang dimilikinya. Lain halnya dengan seorang ahli
ibadah, yang dia mendirikan shalat, menjalankan puasa, dan semisalnya,
hanya terjadi antar dirinya dengan Rabbnya. Akan tetapi, seorang yang
berilmu dan menyampaikan ilmunya kepada orang lain, sesungguhnya dia
tidak hanya membawa manfaat untuk dirinya sendiri, tetapi dia juga
memberikan manfaat untuk orang lain.
***
Ilmu
merupakan amal shalih yang paling utama dan mulia karena ilmu termasuk
ke dalam jihad fi sabilillah. Karena sesungguhnya agama Allah tidak akan
tegak dimuka bumi ini melainkan dengan dua hal, yaitu pertama, dengan
ilmu dan bayan (penjelasan), kedua, dengan pedang dan tombak (perang).
Namun, para Rasul ‘alaihimush shalatu wa salam tidak pernah sekalipun
menyerang suatu kaum yang durhaka kepada Allah Ta’ala sebelum tegaknya
hujjah (dalil) dan dakwah telah sampai kepada mereka terlebih dahulu.
Senada dengan hal itu, Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah
pernah berkata, “Jihad dengan hujjah dan lisan (keterangan) lebih
didahulukan dari pada jihad dengan pedang dan tombak.” [Lihat Al-Kafiyah
Asy-Syafiyah fil Intishari lil Firqatin Najiyyah (hal. 35) dan Menuntut
Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 46 dan 331)]
Islam pun mendasari
segala pelaksanaan syari’atnya atas dasar ilmu. Oleh karena itu,
seorang Muslim tidak akan mungkin dapat menjalankan syari’at yang
menghimpun ikhlas dan ittiba’ (beramal sejalan dengan petunjuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam) kecuali dengan ilmu. Karena tanpa ilmu,
tidak ada amal yang akan diterima oleh Allah Ta’ala. Dengan demikian,
kita mengetahui bahwa ilmu menempati kedudukan yang amat mulia, agung
dan utama. Dan sebaik-baik ilmu yang harus dipelajari dan dimiliki oleh
manusia adalah ilmu syar’i.
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali
hafizhahullah berkata, “Sebaik-baik ilmu adalah memberikan perhatian
penuh terhadap Kitabullah (yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai
pendampingnya), membacanya dan membacakannya (kepada orang lain),
belajar dan mengajarkannya, memahami dan merenungkan (kandungannya).”
[Lihat Bahjatun Nazhirin (I/221) dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah
(I/581)]
Semoga Allah menambahkan ilmu yang bermanfaat kepada
kita semua dan menjauhkan kita dari ilmu yang tidak bermanfaat dan
tercela.
وَقُـلْ رَّبِّ زِدْنِى عـلْـمًا
Artinya: “Dan katakanlah, ‘Wahai Rabbku, tambahkanlah ilmu kepadaku.’” (Qs. Thaha: 14)
اللهُـمَّ انْفَـعْـنِيْ بِمَـا عَـلَّمْتَنِيْ، وَعَـلِّمْنِيْ مَا يَنْـفَعُـنِيْ، وَزِدْنِيْ عِـلْمًـا .
“Yaa Allah, berikanlah manfaat kepadaku dengan apa-apa yang Engkau
ajarkan kepadaku, dan ajarkanlah aku apa-apa yang bermanfaat bagiku. Dan
tambahkanlah ilmu kepadaku.”
والله تعالى أعلم
سبحانك اللهم وبحمدك أشهـد أن لا إله إلا أنت، استغـفـرك وأتوب إليك
Assalamualaikum ^^ syukran kerana
sudi berkunjung ke blog ana.. semoga perkongsian dalam blog ini dapat memberi
mamfaat kepada sahabat2 semua .. insya'ALLAH .. sama2 kita sebarkan ILMU yang
bermanfaat kepada semua sahabat ^^
Dipersilahkan bagi yang ingin ShaRE is CAring ..semuanya
milik bersama..
✿
Prinsip ABC ✿
✩ A
mbil yang baik
✩ B
uang yang buruk
✩ C
iptakan yang baru
Salam Da'wah W uKHuwahFIllah abADAn abaDA ..
Keep Istiqomah wa HAMASAH Barakallahufiikum ..
^_senyum_^
Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh
=== ✩ ❤ ✩
✿ ✩ ❤
✩ ✿ ✩
❤ ✩ ====== ✩
❤ ✩ ✿
✩ ❤ ✩
✿ ✩ ❤
✩ ===