Dia-lah yang
mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.
(TQS. Al Fath [48] : 28)
Brian Grim, peneliti senior Pew Forum on Religion and Public Life,
lembaga survei Amerika, kepada CNN (2009) menyatakan bahwa satu dari
empat penduduk dunia adalah muslim. Indonesia menempati peringkat satu
dengan jumlah muslim terbesar di seluruh dunia. Data tersebut
dikeluarkan dari hasil penelitian dan kompilasi data selama 30 tahun
dari 232 negara serta teritori di seluruh dunia. Seluruh
data menggunakan 1.500 sumber berbeda. Termasuk laporan dari sensus,
demografi, dan survei populasi secara umum. Data diambil dari sensus
data nasional dan survei berdasarkan pertumbuhan populasi di setiap
negara. Penelitian itu menghasilkan daftar sepuluh negara dengan
penduduk muslim terbanyak. Negeri Zamrud Khatulistiwa, berada pada peringkat satu dengan 88,2 persen penduduknya muslim. Kemudian disusul oleh Pakistan di posisi kedua, India ketiga, Bangladesh keempat. Berikutnya, berturut-turut Mesir, Nigeria, Iran, Turki, Aljazair, dan Maroko di peringkat kesepuluh.
Berdasarkan penelitian tersebut, diketahui pula bahwa 1,57 miliar populasi muslim dari seluruh dunia diperkirakan lebih dari 60 persennya berada di benua Asia. Sedangkan 20 persen berada di Timur Tengah dan Afrika Utara. Menurut Grim, kondisi kamum muslimin di seluruh dunia, secara keseluruhan jumlah lebih tinggi dari perkiraan yang ada.
Secara politis ideologis, jumlah kaum muslimin yang banyak merupakan ancaman terbesar bagi Amerika sebagai negara utama pengemban ideologi Kapitalisme-Sekular. Lebih jauh, kini ancaman itu semakin keras. Gelombang bangkitnya umat karena ideologi Islam semakin terasa di seluruh penjuru dunia, termasuk di negara-negara Barat yang notabene negara kapitalisme sendiri. Keberadaan mereka, meskipun berpecah dengan sekat batas-batas negara, tak menanggalkan identitasnya sebagai muslim yang tak gentar memperjuangkan ideologi Islam, jantung hidupnya. Keyakinan mereka kepada Allah dan RasulNya, menuntun mereka bergerak. Melanjutkan cita perjuangan yang pernah Rasul-Nya contohkan, untuk menyeru dan mengajak umat mewujudkan kehidupan yang merdeka dan penuh berkah, dibawah naungan institusi Sang Pencipta-nya, Khilafah Islamiyah.
Mereka terus berupaya menghancurkan jerat pandang kapitalisme – sekuler, yang telah menjadikan kehidupan umat luput dari kesejehteraan dan kedamaian. Mereka terus mengingatkan manusia akan hakikat dirinya sebagai seorang hamba, yang tak layak ingkar terhadap aturan Sang Pencipta. Mereka begitu menyadari bahwa kehidupan umat tanpa naungan khilafah adalah bagai ‘layang-layang putus tali’, terombang-ambing, perlahan tapi pasti kehidupan mereka terpuruk, jatuh dan terhinakan. Sebagaimana kondisi kaum muslimin pada mayoritas negeri-negeri muslim seperti Indonesia, tak berdaya.
Ketakberdayaan itu tak lain karena jerat ideologi kapitalisme-sekuler dalam wujudnya sebagai demokrasi saat ini. Barat memaksa kaum muslimin untuk berpikir cara pandangnya yang sekuler. Mereka mengikat kaum muslimin di atas tawaran ’kebebasan & HAM’. Mereka berdalih akan memberikan kedamaian dan membagi kesejahteraan. Mereka mengkampanyekan kesetaraan. Namun lebih dari semua itu sebenarnya hanyalah tipuan, agar umat islam melemahkan keyakinan dirinya kepada Allah SWT. Menjadikan mereka takluk dalam ’dikte’ ideologi sekuler, jatuh dalam lumpur kehinaan sebagai umat yang terjajah. Sebagaimana kondisi umat Islam saat ini, khususnya pada negeri-negeri kaum muslimin seperti Indonesia. Yang menganggap agama hanya sekedar dogma. Bahkan lebih jauh, ’dikte’ ideologi sekuler ini menjadikan kaum muslimin tak mempercayai keyakinan hidupnya, bahwa dengan Islam ia mampu menjawab berbagai tantangan dan persoalan kehidupan.
Barat yang dimotori
oleh Amerika Serikat, sadar bahwa ketika kaum muslimin bangkit
memperjuangkan haknya sebagai umat yang satu dalam institusi agung
Khilafah Islamiyah, maka otoritasnya sebagai negara nomor satu di dunia
semakin terancam dan dipastikan kehancurannya. Sehingga, upaya apapun
yang dilakukan oleh kaum muslimin untuk memperjuangkan tegaknya Islam
atas kehidupan mereka pasti akan senantiasa dihalang-halangi oleh AS.
Amerika Serikat pun
sadar bahwa tegaknya Khilafah Islamiyah merupakan janji Allah yang
pasti kebenarannya (An-Nisaa [4]: 141; An-Nuur [24]: 55). Oleh
karenanya, yang hanya bisa AS lakukan adalah terus membendung
upaya-upaya yang dilakukan oleh mereka yang memperjuangkan tegaknya
Khilafah Islamiyah. Perjuangan menegakkan Khilafah inilah yang disebut
AS sebagai ’perang panjangnya’ (long war) melawan ekstrimis (violent extremist dan extremist ideology’).
AS membangun opini umum terhadap dunia internasional (narasi baru AS),
bahwa ekstrimis ideologi tersebut menebarkan teror, sehingga dapat
mengganggu stabilitas dunia.
“The Department of Defense (US) conducted the 2006 Quadrennial Defense Review (QDR) in the fourth year of a long war, a war that is irregular in its nature. The enemies in this war are not traditional conventional military forces but rather dispersed, global terrorist networks that exploit Islam to advance radical political aims…. They use terror, propaganda and indiscriminate violence in an attempt to subjugate the Muslim world under a radical theocratic tyranny while seeking to perpetuate conflict with the United States and its allies and partners. This war requires the U.S. military to adopt unconventional and indirect approaches. Currently, Iraq and Afghanistan are crucial battlegrounds, but the struggle extends far beyond their borders. With its allies and partners, the United States must be prepared to wage this war in many locations simultaneously and for some years to come.
This
wartime construct, described in detail later in this Report, makes
adjustments to better capture the realities of a long war by:
1. Better defining the Department’s responsibilities for homeland defense within a broader national framework.
2. Giving
greater emphasis to the war on terror and irregular warfare activities,
including long-duration unconventional warfare, counterterrorism,
counterinsurgency, and military support for stabilization and
reconstruction efforts.
3. Accounting for, and drawing a distinction between, steady-state force demands and surge activities over multi-year periods.”
Pada sebuah kesempatan Tony Blair membahas pula hal ini dengan pernyataan bahwa "a battle not just about the terrorist methods but their views. Not just their barbaric acts, but their barbaric ideas. Not only what they do but what they think".
Dalam Quadrennial Defense Review (QDR) Tahun 2006, disebutkan bahwa AS akan membuka pertarungan dirinya dengan global terrorist pada jangkauan yang lebih luas, tidak melulu fokus di Timur Tengah. Hal tersebut sejalan pula dengan hasil survey Pew Forum on Religion and Public Life, yang diwakili oleh Grim kepada CNN (8/10/2009), bahwa “Jika dunia hendak menciptakan pengertian yang lebih baik, antara AS dan dunia muslim, kini kita harus fokus pada wilayah selatan dan Asia Tenggara bukannya Timur Tengah.”
Dengan kekuatannya yang mampu menguasai berbagai media, AS terus berupaya menebarkan ketakutan yang besar pada negeri-negeri kaum muslimin tentang keberadaan para teroris. Sebagaimana ketakutan pemerintah Indonesia saat ini, terkait keberadaan terorisme di negaranya. Secara terbuka pula AS menghasut negeri-negeri muslim, khususnya di Indonesia, bahwa mereka yang terlibat jaringan terorist global adalah generasi muda Islam yang berhasil dicuci otaknya sehingga bertindak radikal dan ekstrim. AS menakut-nakuti umat, bahwa para teroris atau radikalis tersebut melakukan rekrutmen besar-besaran di masjid dan di kampus-kampus. Dengan opini ’terorisme’ ini pula, AS terus berupaya memecah belah umat Islam dengan memberikan label ’garis keras’ pada mereka yang memperjuangkan tegaknya Syariah dan Khilafah. Hingga kaum muslimin terpancing, selalu merasa was-was dan tak saling percaya pada sesamanya.
Dengan dalih menjalankan ’kewajiban’-nya untuk menjaga stabilitas internasional sebagai polisi dunia, AS tampil bak pahlawan yang begitu sungguh-sungguh melawan kejahatan, yang katanya melawan para terrorist global. Dengan penyesuaian strategi yang telah dilakukannya, AS menggunakan pendekatan baru untuk negeri-negeri muslim (khususnya Indonesia), yakni dengan strategi ‘smart power’.
Melalui kepemimpinan Obama- AS berupaya membangun citra barunya sebagai negara adi daya yang ramah (the U.S. military to adopt unconventional and indirect approaches). Upaya tersebut dibangun melalui jalan kerjasama-kerjasama politik kenegaraan (bilateral maupun multilateral), yakni dengan metode diplomasi politik secara personal atas nama ‘kesamaan kepentingan dan saling menghargai’. Secara lebih luas, AS menggembar-gemborkan berbagai isu sesuai kepentingannya, antara lain: isu terorisme, demography, identitas nasional, dan isu lingkungan seperti climate change.
Hal tersebut seiring dengan pernyataan Obama dalam Obama in His Own Words, bahwa “Kesamaan kepentingan di dunia akan memulihkan pengaruh kita serta merebut hati dan pikiran demi mengalahkan terorisme dan menyebarkan nilai-nilai AS ke seluruh dunia.” (Rogak, 2009)
Bersama Hillary Clinton, Obama berusaha memperbaharui komitmen AS terhadap diplomasi serta penguatan kepemimpinan muslim moderat, khususnya pada Indonesia. Sebagaimana berturut-turut adanya kedatangan Hilarry 2009 lalu, dan berikutnya rencana kedatangan Obama ke Indonesia Maret 2010 ini. Keduanya bergerak dengan alasan yang sama, yakni ‘kepentingan yang sama’ antar negara guna memerangi tindak terorisme global dan upaya peningkatan stabilitas ekonomi. Pada kedatangannya kali ini, Obama merancang agenda ‘kerjasama komprehensif’ bersama pemerintah Indonesia. Dan kerjasama tersebut merupakan bukti implementasi rancangan pertahanan militer AS. Adapun beberapa kerjasama yang akan dijalin diantaranya:
Pertama, menjalin kerjasama militer Indonesia – AS (“US Secretary of State Hillary Clinton told lawmakers last week that the US wanted more counterterrorism and military cooperation with Indonesia”, The Jakarta Post, 03/01/2010);
Kedua, kerjasama utang financial - debt-for-nature scheme, serta kerjasama bantuan capacity building and technology transfer, khususnya dalam mengatasi isu perubahan iklim (Under the plan, Indonesia will become a hub for scientific data and a training center on climate change issues for five countries in Southeast Asia — Malaysia, Singapore, Brunei Darussalam, the Philippines and Indonesia — and 17 nations in the Pacific, including Australia, New Zealand, the Solomon Islands, Timor Leste and Fiji”, The Jakarta Post, 03/02/2010). Dengan hal tersebut, maka AS akan dengan mudah mengakses dan memetakan aset atau potensi wilayah Asia. Sehingga secara langsung hal ini akan meningkatkan kekuatan pertahanan AS. Khususnya dari basis pertahanan kelautan dan kehutanan nasional Indonesia. Dengan isu ini pula, menjadi sangat mudah bagi AS untuk mengambil hati dan mendikte pikiran para intelektual muslim di indonesia. Khususnya para ilmuan atau pakar yang selama ini fokus pada persoalan climate change. IPB termasuk di dalamnya.
Selain dua alasan tersebut, AS pun berencana mengambil kesempatan untuk memperkuat bangunan kerjasama perdagangan bebas, khususnya dalam bidang pertanian ‘Agricultural free trade’ Indonesia – Amerika Serikat (AS). Langkah ini tampaknya dilakukan sebagai upaya counterattack keberadaan CAFTA, karena AS geram dengan kemapanan ekonomi China- yang terus melenggang mengambil alih pasar AS di ASEAN, khususnya hagemoni AS di Indonesia. Jadilah Indonesia bagai ‘kerbau’ yang dicocok hidungnya, bergerak kesana dan kemari karena kendali bangsa lain. Tak berkedaulatan dan jatuh pada lubang yang semakin dalam.
Sungguh, semua hal tersebut merupakan bukti kesungguhan AS menghadapi lawan ideologinya, yakni Islam. Perubahan kepemimpinan tak akan menjadikannya luput sebagai negara ’penjajah’ yang bermain dalam berbagai wajahnya. Obama hanyalah kedok baru AS. Ia merupakan alat bagi AS untuk menghadapi tantangan ideologi lawan mainnya (baca: ideologi Islam) yang semakin kuat. AS tak akan membiarkan otoritasnya sebagai negara nomor 1 tergeser dalam kancah dunia. Lebih jauh, sebagai pengawal ideologi Kapitalis-Sekuler yang memipin dunia saat ini, AS tentu saja tak akan membiarkan ideologi lawan mainnya mengambil alih kepemimpinan. Akhirnya, idiom ’tak ada makan siang yang gratis’, selayaknya menjadi ingatan bagi kita, bahwa AS sesungguhnya hanya berpura-pura memberikan kebaikannya atas dunia, khususnya pada kaum muslimin.
Oleh karenanya, kami menyeru dan mengajak teman-teman seluruhnya untuk berdiri dalam satu barisan, meneriakkan kedzoliman ini. Sekaranglah saatnya bagi kita semua untuk bersikap sebagaimana seorang muslim bersikap.
Menyatakan yang haq dan bathil, benar dan salah atas landasan perintah
dan larangan Allah SWT, Sang Pencipta kita, Penguasa Jagat Raya.
Sekarang, saat ini juga. Demi Allah! Wallahu’alam.
Normal 0 false false false MicrosoftInternetExplorer4
/* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table
Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt
0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New
Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
”Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuh
kalian sebagai teman-teman setia—yang kalian sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad)—dengan penuh kasih-sayang” (QS al-Mumtahanah [60]: 1).
0 komentar:
Post a Comment