Friday, February 4, 2011

Hati Yang Terluka

Kita selalu membutuhkan sebuah cermin untuk dapat menilai seberapa panjang rambut kita, seberapa banyak jerawat yang menghiasi wajah kita, seberapa kusut kemeja yang kita pakai, atau sekadar memastikan apakah hari ini letak telinga sebelah kiri sudah proporsional dan seimbang dengan telinga sebelah kanan, ataukah belum... dan seterusnya, dan seterusnya..

“Buruk rupa, cermin dibelah.”

Kalimat satir ini seolah menyindir mereka yang enggan menerima sebuah kenyataan pahit bahwa pada dirinya terdapat hal-hal yang (mungkin) bersebrangan dengan rumusan estetika maupun etika manusia kebanyakan, karena pada kenyataannya cermin selalu jujur memantulkan objek yang ia tangkap di depannya dan (atau) merefleksikan kembali apa-apa yang ia pungut secara apa adanya tanpa bumbu-bumbu eufemisme.

Dan tadi malam, saya menemukan salahsatu cermin yang telah beberapa waktu sebenarnya sudah Allah selipkan untuk bisa saya temukan sewaktu-waktu dan di saat-saat tertentu ketika saya membutuhkannya.

Hingga menjelang pagi saya seolah diperlihatkan bahwa betapa banyak borok dan luka-luka yang selama ini mungkin terabaikan, sehingga, pagi tadi menjadi pagi yang sama sekali berbeda dengan pagi-pagi yang pernah saya lewati. Setiap tarikan nafas menjelma istighfar yang menyosokkan saya kembali menemukan kenyataan sejati bahwa diri yg dhaif ini amat sangat lemah, kecil, dan nyaris tak berarti.

Jika seorang Muhammad SAW yang ma'shum dan mahfudz beristighfar setiap hari kepada Allah sebanyak 70 kali dengan genangan airmata.

Jika seorang Abu Bakar pernah kedapatan memegang lidahnya sambil mengatakan “Lidah inilah yang menjerumuskan saya ke dalam banyak lobang (kesalahan).” sehingga ia sering menangis dan berharap bisa menjadi pohon yang dimakan dan dilumat saja tanpa dimintai pertanggungjawaban.

Jika seorang Umar pernah didapati pada suatu malam memukul kedua kakinya dengan cambuk seraya berkata, ''Apa yang sudah kukerjakan hari ini.''

Jika seorang Ustman setiap kali berhenti pada suatu kuburan selalu menangis sampai air mata membasahi jenggotnya, demikian juga halnya Ali yang senantiasa menangis karena takut akan datangnya hari dimana segala sesuatu akan diperhitungkan...

Mengapa saya tidak terganggu dengan hal itu? Hey... Apa yang terjadi dengan saya? Iblis mana yang telah menyisipkan rasa ujub dan takabbur ke dalam rongga hati hingga tanpa sadar diri ini seakan larut dan terbawa, bahkan mungkin sampai pada titik memandang diri yang lemah ini dengan tatapan kekaguman?

Sungguh saya bersyukur Allah telah mengirimkan seorang sahabat di sepertiga malam terahir yang pada dirinya saya temukan “cermin” yang dengan cermin darinya saya dapat melihat secara jernih borok dan luka yang ada di kedalaman bathin saya. Luka-luka yang selama ini (entah dengan sengaja atau tidak) mungkin telah saya abaikan.

********************

“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan azab Tuhan mereka. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun). Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, karena mereka tahu sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minuun: 57-60)

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More