Kalau ditanya sejak kapan aku mulai menulis? Akan ku jawab, sewaktu umur 3-4 tahun aku belajar untuk menulis angka dan huruf. Alhasil walau saat itu aku sulit membedakan antara huruf M dan W yang aku baca selalu terbalik, aku menjadi anak yang sudah bisa membaca sebelum aku masuk TK. Haha..
, itu masih menulis gaya jaman balita.
Setelah aku bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) di kota kecilku, kegiatan menulisku semakin banyak. Aku menyebutnya saat itu bukan sebagai penulis, tapi cenderung ke kerjaan sekretaris kelas. Bayangkan saja, dari jaman nulis make kapur putih sampai ke spidol, kerjaanku tetap aja jadi sekretaris kelas. Itu dimulai dari kelas 3 MIN sampai kelas 3 MAN. Betah ya, dan herannya penglihatan guru-guruku semenjak aku MIN hingga MAN ternyata sama, mereka tetap menyebutnya rapi. Ini berlanjut hingga kuliah yang memakai sistem scriber (notulen) dalam sebuah diskusi tutorial. Senangnya bukan main teman-teman diskusiku jika aku yang menjadi scriber, karena aku bisa mem-fotocopy-kan papan tulis dari hasil diskusi dengan baik. Dan yang membuat aku tak percaya, hingga kuliah pun, masih ada dosen yang berpenglihatan seperti guru-guruku terdahulu. Haha.. 


Tetapi sepenuhnya aku tidak menjadikan diriku sebagai murid yang terlalu rajin dalam menulis tanpa menghasilkan sesuatu. Sewaktu MIN, aku mulai menulis puisi, walaupun masih bertemakan lihat kebunku penuh dengan bunga , padahal dari mana aku punya kebun, rumahku kan kecil dan halamannya nggak ada bunga, haha..

Maklumlah, masih kapasitas seorang anak kecil yang menulis sebuah puisi amatiran.
Nggak berhenti di situ aja, hanya karena aku suka menulis, jadi setiap ada PR bahasa indonesi yang judulnya buat kalimat baru walaupun dengan pola SPOK, kalimat konjugasi, majemuk, dan sebagainya, wah … aku bakalan senang bukan main. Membuat kalimat bebas benar-benar membuatku bisa berkreasi penuh untuk memasukkan nama Salman Khan yang lagi kasih makan bebek, Tina Toon yang mau bunuh diri, sampai dengan tetanggaku yang tiap pagi bertengkar di depan rumahpun tak lupa kujadikan ide untuk membuat kalimat, haha

Untunglah kebiasaan membuat kalimat aneh dengan melibatkan nama-nama mereka itu tidak kulanjutkan hinggga kini, jika tidak itu bisa menjadi sebuah kebohongan yang besar apalagi jika kertas-kertas PR-ku itu berceceran dan ditemukan oleh seorang wartawan gossip, haha :D. Tetapi ada sisi baiknya juga sih, ya walaupun aku punya ide aneh seperti itu, itu menjadi sebuah perbuatan yang baik untuk mengasah ide di kepalaku supaya cepat muncul, hehe …:).
Saat itu, aku juga punya diary sih, tapi diary di sini lebih kujadikan sebagai buku telpon, alamat rumah , daftar tanggal lahir, daftar makanan kesukaan, buku kesukaan sampai daftar artis kesukaan teman-temanku. Dan pastinya mereka lah yang menulisnya, bukan aku. Hufh, benar-benar tidak penting.

Yuk, cinta menulis
(cahmbantoel.blogspot.com)

Tapi aku baru ngerti, kenapa si bapak guru nyuruh beli diary dengan syarat-syarat di atas. Ya ampun, ternyata fungsi diary sepenuhnya belum berlaku di sini. Mengapa demikian? Ya namanya aja diary alias pribadi, ya mana pernah boleh dikasih ke orang lain kecuali pribadi sendiri yang tahu. Nah, ternyata buku harian yang disyaratkan oleh Pak Guruku itu harus selalu kami kumpulkan setiap seminggu sekali untuk diberikan penilaian dan itu nilai juga dimasukkan dalam nilai harian bahasa Indonesia. Kalau kami memakai diary yang warnanya seperti pelangi dan ada kartun di mana-mana, sama saja itu akan menyebabkan diskriminasi di antara kami, terkesan pembagian kasta dan lain sebagainya. Kami di sini untuk bersekolah, dan di sekolah nggak pernah diperhitungkan mau kaya atau miskinnya seseorang, semuanya sama, yang ada hanyalah bersaing dalam belajar. Benar-benar guru yang luar biasa, dia mempunyai caranya tersendiri untuk membiasakan kami menulis segala sesuatu terhadap setiap peristiwa yang kami alami, kami lihat dan kami dengar. Alhasil, teman-temanku yang cowok yang pada awalnya memang nggak suka nulis diary, karena mereka masih menganggap kalau cowok nulis diary itu adalah kriteria cowok cemen, akhirnya mau nggak mau mereka akhirnya harus nulis juga demi nilai, kalau nggak siap-siap nilai bahasa Indonesia nggak ada, haha :D.

Dan akhirnya karena aku tahu diary itu menjadi diary sekolah, maka aku nggak akan nulis tentang masa ABG ku dan masalah hati yang labil di situ. Aku nggak siap jika pribadiku harus dibaca oleh guru-guru satu kantor. Bener sih itu tugas satu guru, tapi hasil yang kudapatkan adalah karena setiap siswa kelas 1 diwajibkan untuk punya diary yang sama dan harus nulis, banyak diary di meja kerja Pak Guru itu menumpuk dan menarik perhatian guru yang lain untuk membaca. Walaah.. benar-benar repot. Repot yang aku alami lagi, aku harus benar-benar nulis sesuatu minimal 3 tulisan dalam seminggu. Jadilah aku kewalahan mencari ide. Biasanya kan nulis di diary untuk masalah hati, akhirnya kisahnya aku alih fungsikan lagi ke semua tontonan yang aku nonton. Untungnya saat itu aku cuma memiliki TV yang punya saluran televisi nasional. Haha, jadilah banyak tontonan film dokumenter dan semua tontonan yang masih jaman 50-an banget, hahaha

Ya karena aku orang yang mau nonton apa aja walaupun cuma saluran televisi nasional, jadilah isi dari film dokumenter tentang kebudayaan Indonesia sampai pagelaran campur sari pun aku tuliskan dalam diary itu, haha… pikirku, biarlah isinya juga agak tua-tua gitu, soalnya tampang cover diary-nya kan juga tua, jadi ya sekalian aja biar 100 % tua, hahaha..

Dear Diary (plkc-corner.blogspot.com)

Setelah tsunami, banyak hal yang aku dapatkan hingga pada akhirnya aku mulai sering menulis cerpen yang aku sadurkan dari pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi. Aku masih ingat, cerpen pertama yang aku buat berjudul “Coverboy Alim” yang aku dedikasikan untuk salah seorang temanku yang sampai saat ini nggak kabarnya setelah kejadian tsunami saat itu. Pada akhirnya, majalah Skeleton yang merupakan majalah di Fakultas Kedokteran Unsyiah, yang saat ini menjadi kampusku, menerbitkan cerpen itu. Cerpen itu diterbitkan ketika aku duduk di kelas 2 SMA lho. Cerpen kedua mengenai misi-misi misionaris di Aceh, dan itu juga akhirnya dipublish di salah satu surat kabar di Aceh. Cerpen ketiga, aku dedikasikan kepada kakak salah seorang sahabatku yang telah meninggal karena Tsunami, dan kakak itu merupakan salah satu penulis terkenal di Aceh. Dan untuk cerpen ini aku berikan kepada temanku untuk nilai tugas ahir bahasa Indonesia di sekolahnya. Dan cerpen keempat tentang kehidupanku, aku jadikan sebagai hasil dari tugas terakhir untuk nilai bahasa Indonesia di sekolahku.

Teruslah menulis
(damtara.wordpress.com)

Kemudian yang parahnya, mereka akan menyebarkan semua isi diary mu kepada setiap isi rumah. Hufh.. benar-benar menyebalkan. Akhirnya setelah aku berada dalam kondisi yang tak aman dan memang dalam kondisi yang sangat down karena aku harus berhenti menjalankan profesi menyiarku dan beberapa hal lainnya, aku menitipkan diary ku itu pada teman sebangku ku supaya ia menyimpannya rapat-rapat. Sepertinya teman sebangkuku mengerti akan masalahku, dan karena aku ingin mengubur kenangan itu selamanya, akhirnya dia mau menyimpannya.

Live to Write (ririez.blog.uns.aci.d)

Hmm, bagaimanapun kisahnya, tapi inilah aku sekarang, yang masih bisa menulis sampai saat ini, tentunya dengan gaya menulis yang aku punya sendiri. Mungkin setiap perkataan tidak mampu untuk bisa kau ungkapkan, tapi dengan menulis, kau bisa mengungkapkan segalanya, termasuk segala yang ada di hatimu. Teruslah menulis untuk dirimu

0 komentar:
Post a Comment